Tafsir QS. Ar Rum (30) : 30. Oleh Kementrian Agama RI
Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad meneruskan tugasnya dalam menyampaikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrik yang keras kepala itu dalam kesesatannya.
Dalam kalimat
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam);
(sesuai) fitrah Allah",
terdapat perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah.
Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti agama Allah yang telah dijadikan-Nya bagi manusia.
Di sini
"fitrah"
diartikan
"agama"
karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu.
Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surah yang lain:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (adz-Dzariyat [51]: 56)
Menghadapkan wajah (muka) artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada yang lain.
"Wajah"
atau
"muka"
dikhususkan penyebutan di sini karena merupakan tempat berkumpulnya semua panca indera, dan bagian tubuh yang paling terhormat.
Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah yang berbunyi:
Tidak ada seorang anak pun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah.
Kedua ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan, atau memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna.
Adakah kamu merasa kekurangan padanya.
Kemudian Abu Hurairah berkata,
"Bacalah ayat ini yang artinya:
fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.
Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.
"
Dalam riwayat lain,
"Sehingga kamu merusaknya (binatang itu)."
Para sahabat bertanya,
"Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu kecil?"
Rasul menjawab,
"Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat."
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Para fitrah.
Ada yang berpendapat bahwa fithrah itu artinya
"Islam".
Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu Syihab, dan lain-lain.
Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan utama salaf yang berpegang kepada takwil.
Alasan mereka adalah ayat (30) dan hadis Abu Hurairah di atas.
Mereka juga berhujah dengan hadis bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada manusia pada suatu hari:
Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab Nya.
Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah.
Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram.
Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram .
.
.
"(Riwayat Ahmad dari hammad)
Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir.
Adapun maksud sabda Nabi ﷺ tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik, beliau menjawab,
"Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui,"
yaitu apabila mereka berakal.
Takwil ini dikuatkan oleh hadis Bukhari dari Samurah bin Jundub dari Nabi ﷺ.
Sebagian dari hadis yang panjang itu berbunyi sebagai berikut:
Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as.
Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah.
Samurah berkata,
"Maka Rasulullah ditanya, ‘Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik?
Rasulullah menjawab, ‘Dan anak-anak musyrik."
(Riwayat Bukhari dari Samurah bin Jundub)
Sebagian fathir"
berarti
"yang menjadikan"
dengan firman Allah:
قُلِ اللهم فَاطِرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ عٰلِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ اَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْ مَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ
Katakanlah,
"Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui segala yang gaib dan yang nyata, Engkaulah yang memutuskan di antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka perselisihkan." (az-Zumar [39]: 46)
وَمَا لِيَ لَآ اَعْبُدُ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan. (Yasin [36]: 22)
قَالَ بَلْ رَّبُّكُمْ رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الَّذِيْ فَطَرَهُنَّ وَاَنَا۠ عَلٰى ذٰلِكُمْ مِّنَ الشّٰهِدِيْنَ
Dia (Ibrahim) menjawab,
"Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan (pemilik) langit dan bumi;
(Dialah) yang telah menciptakannya;
dan aku termasuk orang yang dapat bersaksi atas itu." (al-Anbiya‘ [21]: 56)
Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tidak ada perubahan.
Allah tidak akan mengubah fitrah-Nya.
Tidak ada sesuatu pun yang menyalahi aturan itu maksudnya ialah tidak akan sengsara orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara.
Menurut Mujahid, artinya ialah tidak ada perubahan bagi agama Allah.
Pendapat ini didukung oleh Qatadah, Ibnu Jubair, adh-ahhak, Ibnu Zaid, dan an-Nakha’i.
Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan.
‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Umar bin Khaththab berkata,
"Tidak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan."
Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.
Ungkapan
"itulah agama yang lurus",
menurut Ibnu ‘Abbas, bermakna
"itulah keputusan yang lurus".
Muqatil mengatakan bahwa itulah perhitungan yang nyata.
Ada yang mengatakan bahwa agama yang lurus itu ialah agama Islam, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Mereka tidak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar.
Oleh karena itu, mereka tidak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusan-Nya.