Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat),
―QS. 24:37
They fear a Day in which the hearts and eyes will (fearfully) turn about –
―QS. 24:37
رِجَالٌ | orang-orang lelaki
Men –
|
---|---|
لَّا | tidak
not
|
تُلْهِيهِمْ | melalaikan mereka
distracts them
|
تِجَٰرَةٌ | perniagaan
trade
|
وَلَا | dan tidak
and not
|
بَيْعٌ | jual-beli
sale
|
عَن | dari
from
|
ذِكْرِ | mengingat
(the) remembrance of Allah *[meaning includes next or prev. word]
|
ٱللَّهِ | Allah
(the) remembrance of Allah *[meaning includes next or prev. word]
|
وَإِقَامِ | dan mendirikan
and (from) establishing
|
ٱلصَّلَوٰةِ | sholat
the prayer
|
وَإِيتَآءِ | dan membayarkan
and giving
|
ٱلزَّكَوٰةِ | zakat
zakah.
|
يَخَافُونَ | mereka takut
They fear
|
يَوْمًا | pada hari
a Day
|
تَتَقَلَّبُ | bolak-balik/goncang
will turn about
|
فِيهِ | padanya/hari itu
therein
|
ٱلْقُلُوبُ | hati
the hearts
|
وَٱلْأَبْصَٰرُ | dan penglihatan
and the eyes.
|
Tafsir surah An Nuur (24) ayat 37
Tafsir QS. An Nuur (24) : 37. Oleh Kementrian Agama RI
Di antara orang-orang yang akan diberi Allah pancaran Nur Ilahi itu ialah orang-orang yang selalu menyebut nama Allah di masjid-masjid pada pagi dan petang hari serta bertasbih menyucikan-Nya.
Mereka tidak lalai mengingat Allah dan mengerjakan salat walaupun melakukan urusan perniagaan dan jual beli, mereka tidak enggan mengeluarkan zakat karena tamak mengumpulkan harta kekayaan, mereka selalu ingat akan hari akhirat yang karena dahsyatnya banyak hati menjadi guncang dan mata menjadi terbelalak.
Ini bukan berarti mereka mengabaikan sama sekali urusan dunia dan menghabiskan waktu dan tenaganya untuk berzikir dan bertasbih, karena hal demikian tidak disukai oleh Nabi Muhammad dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Nabi Muhammad telah bersabda:
Berusahalah seperti usaha orang yang mengira bahwa ia tidak akan mati selama-lamanya dan waspadalah seperti kewaspadaan orang yang takut akan mati besok.
(Riwayat al-Baihaqi dari Ibnu Auz)
Urusan duniawi dan urusan ukhrawi keduanya sama penting dalam Islam.
Seorang muslim harus pandai menciptakan keseimbangan antara kedua urusan itu, jangan sampai salah satu di antara keduanya dikalahkan oleh yang lain.
Melalaikan urusan akhirat karena mementingkan urusan dunia adalah terlarang, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta-bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (al-Munafiqun [63]: 9)
Dan firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (al-Jumu’ah [62]: 9)
Tetapi apabila kewajiban-kewajiban terhadap agama telah ditunaikan dengan sebaik-baiknya, seorang muslim diperintahkan untuk kembali mengurus urusan dunianya dengan ketentuan tidak lupa mengingat Allah agar dia jangan melanggar perintah-Nya atau mengerjakan larangan-Nya sebagai tersebut dalam firman-Nya:
Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi;
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. (al-Jumu’ah [62]: 10)
Sebaliknya melalaikan urusan dunia dan hanya mementingkan urusan akhirat juga tercela, karena orang muslim diperintahkan Allah supaya berusaha mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhannya, dan kebutuhan keluarganya.
Orang-orang yang berusaha menyeimbangkan antara urusan duniawi dan urusan ukhrawi itulah orang-orang yang diridai oleh Allah.
Dia bekerja untuk dunianya karena taat dan patuh kepada perintah dan petunjuk-Nya.
Dia beramal untuk akhirat karena taat dan patuh kepada perintah serta petunjuk-Nya, sebagai persiapan untuk menghadapi hari akhirat yang amat dahsyat dan penuh kesulitan, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:
Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.”
Maka Allah melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan.
Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera. (al-Insan [76]: 10-12)
Mereka tidak disibukkan oleh urusan dunia, seperti–untuk menyebut di antaranya–jual beli, yang dapat membuat seseorang lupa kepada Allah.
Mereka selalu melaksanakan salat dan menunaikan zakat.
Mereka pun selalu mewaspadai datangnya hari kiamat sehingga membuat hati mereka menjadi goncang karena gelisah, kesulitan dan menanti nasib.
Pada hari itu, pandangan pun menjadi bimbang dan terkejut melihat pemandangan yang aneh dan bencana yang dahsyat.
Para lelaki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat kepada orang-orang yang berhak.
Mereka takut kepada satu hari yang mana saat itu hati akan bergoncang antara harapan selamat dan takut celaka, dan penglihatan pun bergoncang karena melihat kemanakah tempat kembalinya?
(Laki-laki) menjadi Fa’il atau subyek daripada Fi’il Yusabbihu, jika dibaca Yusabbahu berkedudukan menjadi Naibul Fa’il.
Lafal Rijaalun adalah Fa’il dari Fi’il atau kata kerja yang diperkirakan keberadaannya sebagai jawab dari soal yang diperkirakan pula.
Jadi seolah-olah dikatakan, siapakah yang melakukan tasbih kepada-Nya itu, jawabnya adalah laki-laki
(yang tidak dilalaikan oleh perniagaan) perdagangan
(dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan salat) huruf Ha lafal Iqaamatish Shalaati dibuang demi untuk meringankan bacaan sehingga jadilah Iqaamish Shalaati
(dan dari membayar zakat.
Mereka takut kepada suatu hari yang di hari itu menjadi guncang) yakni panik
(hati dan penglihatan) karena merasa khawatir, apakah dirinya selamat atau binasa, dan penglihatan jelalatan ke kanan dan ke kiri karena ngeri melihat pemandangan azab pada saat itu, yaitu hari kiamat.
Adapun mengenai firman-Nya:
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah.
(QS. An-Nuur [24]: 37)
seakan-akan ia menjadi tafsir dari fa’il (pelaku) yang tidak disebutkan, seperti pengertian yang terdapat di dalam perkataan seorang penyair:
Kupenuhi seruanmu, hai Yazid, seorang yang ganas dan tak pandang bulu dalam menghadapi persengketaan yang timbul dari keadaan zaman.
Seakan-akan dikatakan,
“Siapakah yang membuatnya menangis?”
Maka dijawab,
“Ini yang membuatnya menangis.”
Dan seakan-akan dikatakan,
“Siapakah yang bertasbih kepada Allah di dalam masjid-masjid?”
Maka dijawab,
“Laki-laki.”
Adapun mengenai qiraat ulama yang membacanya yusabbihu, berarti menjadikannya sebagai fi’il dan fa’il-nya adalah rijalun.
Karena itu tidak baik melakukan waqaf melainkan hanya pada fa’il-nya, sebab fa’il’ merupakan kesempurnaan kalimat yang sebelumnya.
Penyebut rijalun (yang artinya laki-laki) mengandung pengertian yang mengisyaratkan kepada tugas mereka yang luhur dan niat serta tekadnya yang tinggi, yang berkat itu semua mereka menjadi pemakmur masjid-masjid yang merupakan rumah-rumah Allah di bumi-Nya, sebagai tempat untuk beribadah kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, mengesakan dan menyucikan-Nya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.
(QS. Al-Ahzab [33]: 23), hingga akhir ayat
Adapun mengenai kaum wanita, maka salat mereka di dalam rumahnya lebih utama bagi mereka, karena berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud melalui sahabat Abdullah ibnu Mas’ud r.a., dari Nabi ﷺ yang telah bersabda:
Salat wanita di dalam rumahnya lebih utama daripada salatnya di dalam ruangan tamunya, dan salatnya di dalam kamarnya lebih utama daripada salatnya di dalam rumahnya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Rasyidin, telah menceritakan kepadaku Amr dari Abu Assamh, dari Assaib mau la Ummu Salamah, dari Ummu Salamah r.a., dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda:
Sebaik-baik masjid kaum wanita ialah bagian dalam rumah mereka.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Qais, dari Abdullah ibnu Suwaid Al-Ansari, dari bibinya (yaitu Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa’idi), bahwa ia datang kepada Nabi ﷺ, lalu bertanya,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku suka mengerjakan salat bersamamu (Yakni berjamaah di masjid Rasulullah ﷺ).”
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
Saya telah mengetahui bahwa engkau menyukai salat bersamaku.
Salat kamu di dalam rumahmu lebih baik daripada salatmu di dalam ruangan tamumu, dan salatmu di dalam ruangan tamumu lebih baik daripada salatmu di dalam pekarangan rumahmu, dan salatmu di dalam pekarangan rumahmu lebih baik daripada salatmu di dalam masjid kaummu, dan salatmu di dalam masjid kaummu lebih baik daripada salatmu di dalam masjidku.
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan sebuah surau khusus buatnya di salah satu bagian rumahnya.
Maka ia selalu mengerjakan salatnya di dalam surau itu hingga meninggal dunia.
Mereka (para ahli hadis) tidak ada yang mengetengahkan hadis ini.
Perlu diingat bahwa seorang wanita diperbolehkan mengikuti salat jamaah bersama kaum laki-laki, tetapi dengan syarat hendaknya ia tidak mengganggu seseorang pun dari jamaah kaum laki-laki yang ada dengan menampakkan perhiasannya atau menebarkan bau wewangiannya.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab sahih melalui Abdullah ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
Janganlah kalian mencegah hamba-hamba wanita Allah dari masjid-masjid Allah.
Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Menurut riwayat Imam Ahmad dan Imam Abu Daud disebutkan:
dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi (salat) mereka.
Menurut riwayat lain disebutkan:
dan hendaklah mereka (kaum wanita) keluar dalam keadaan tidak memakai wewangian.
Di dalam kitab Sahih Muslim telah disebutkan melalui Zainab (istri Abdullah ibnu Mas’ud) yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada kami (kaum wanita):
Apabila seseorang di antara kalian mendatangi masjid (untuk salat berjamaah), janganlah ia memakai wewangian.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa dahulu kaum wanita mukmin mengikuti salat subuh bersama Rasulullah ﷺ, kemudian mereka pulang dengan menutupi kepala mereka dengan kain kerudungnya, mereka tidak dikenal karena cuaca masih gelap.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula dari Siti Aisyah r.a. yang telah mengatakan,
“Seandainya Rasulullah ﷺ menjumpai masa timbulnya bid’ah yang dilakukan oleh kaum wanita (sekarang), tentulah beliau melarang mereka mendatangi masjid-masjid, sebagaimana kaum wanita Bani Israil dilarang (mendatangi tempat peribadatan mereka di masa lalu).”
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah.
(QS. An-Nuur [24]: 37)
Sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.
(QS. Al-Munafiqun [63]: 9), hingga akhir ayat.
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
(QS. Al-Jumuah:
9), hingga akhir ayat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa tidak dapat menyibukkan mereka dunia dan kegemerlapannya serta perhiasannya, juga kesenangan melakukan jual beli, dari mengingati Tuhan mereka Yang telah menciptakan mereka dan Yang memberi mereka rezeki.
Mereka mengetahui bahwa pahala yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih bermanfaat bagi mereka daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena harta benda yang ada pada mereka pasti habis, sedangkan pahala yang ada di sisi Allah kekal.
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan salat, dan (dari) membayarkan zakat.
(QS. An-Nuur [24]: 37)
Yakni mereka lebih mendahulukan ketaatan kepada Allah dan perintah Allah serta apa yang disukai oleh-Nya:
Hasyim telah meriwayatkan dari Syaiban, ia menceritakan sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia melihat suatu kaum dari kalangan ahli pasar saat dikumandangkan seruan untuk menunaikan salat fardu.
Maka mereka meninggalkan jual beli mereka, lalu bangkit menuju tempat salat untuk menunaikan salat.
Maka Abdullah ibnu Mas’ud berkata bahwa mereka termasuk orang-orang yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya:
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah.
(QS. An-Nuur [24]: 37), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Amr ibnu Dinar Al-Qahramani, dari Salim, dari Abdullah ibnu Umar r.a., bahwa ketika ia berada di sebuah pasar dan seruan untuk salat dikumandangkan, maka mereka menutup kios-kios mereka, lalu masuk ke dalam masjid (untuk menunaikan salat).
Maka Ibnu Umar berkata sehubungan dengan sikap mereka itu, bahwa berkenaan dengan orang-orang seperti merekalah ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala:
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah.
(QS. An-Nuur [24]: 37)
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bukair As-San’ani, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Bujair, telah menceritakan kepada kami Abu Abdu Rabbihi, bahwa Abu Darda pernah mengatakan bahwa sesungguhnya ia mangkal di tangga ini untuk menjajakan barang dagangan, setiap hari ia beroleh keuntungan tiga ratus dinar, dan setiap hari ia dapat melakukan salat berjamaah di masjid.
Kemudian ia menegaskan bahwa sesungguhnya ia tidak mengatakan bahwa perbuatannya itu tidak halal, tetapi ia suka bila termasuk orang-orang yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya:
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah.
(QS. An-Nuur [24]: 37)
Amr ibnu Dinar Al-A’war mengatakan bahwa pada suatu hari ia bersama Salim ibnu Abdullah menuju ke masjid.
Mereka melalui pasar kota Madinah, sedangkan saat itu mereka sedang bangkit menuju ke tempat salat mereka dan barang dagangan mereka telah mereka tutupi dengan kain.
Salim melihat ke arah barang dagangan mereka, dan ternyata tiada seorang pun yang menjaganya.
Maka Salim membacakan ayat ini, yaitu firman-Nya:
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah.
(QS. An-Nuur [24]: 37)
Kemudian Salim mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang-orang seperti mereka itu.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa’id ibnu Abul Hasan dan Ad-Dahhak, bahwa perniagaan dan jual beli tidak melalaikan mereka untuk mengerjakan salat tepat pada waktunya masing-masing.
Matar Al-Waraq mengatakan, dahulu mereka biasa melakukan jual beli, tetapi jika seseorang dari mereka mendengar seruan azan sedang timbangannya berada di tangannya, maka mereka meletakkan timbangannya dan pergi untuk mengerjakan salat.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah.
(QS. An-Nuur [24]: 37)
Yakni dari mengerjakan salat fardu.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, bahwa kesibukan mereka dalam berbisnis tidak melalaikan mereka untuk menghadiri salat jamaah dan menunaikannya seperti yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan mereka memelihara waktu salat lima waktu berikut semua hal yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala agar dipelihara oleh mereka dalam mengerjakan salat lima waktu tersebut.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.
(QS. An-Nuur [24]: 37)
Yaitu hari kiamat, yang di hari itu semua hati dan penglihatan guncang karena kedahsyatannya yang sangat dan kengerian-kengerian yang terjadi padanya.
Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
Berilah mereka peringatan dengan hari peristiwa yang dekat (hari kiamat).
(QS. Al-Mu’min:
18)
Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.
(Ibrahim:42)
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.
Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
Sesungguhnya kami takut akan azab suatu hari yang (di hari itu orang-orang bermuka) masam, penuh kesulitan (yang datang) dari Tuhan kami.
Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati.
Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.
(QS. Al-Insaan:8-12)
|
|
---|
Lafaz tijaarah adalah dalam bentuk masdar, berasal dari kata tajara-yatjuru. Mengandung makna mata pencarian penjual, amalan jual beli, barang yang diniagakan dan perniagaan.
Lafaz tijaarah disebut sembilan kali (di dalam Al Qur’an) yaitu dalam surah
-Al Baqarah (2), ayat 16 dan 282;
-An Nisaa’ (4), ayat 29;
-At Taubah (9), ayat 24;
-An Nuur (24), ayat 37;
-Faathir (35), ayat 29;
-Ash Shaff (61), ayat 10;
-Al Jumu’ah (62), ayat 11.
Lafaz tijaarah di dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna yaitu :
– Tijaarah bermakna amalan jual beli sebagaimana kebanyakan maksud ayat- ayat di atas.
– Tijaarah bermakna kiasan bagi orang yang membeli petunjuk dengan kesesatan, sebagaimana yang terdapat dalam surah Al Baqarah ayat 16. Allah berfirman:
Quraisy Shihab berkata,
penukaran petunjuk dengan kesesatan diibaratkan dengan jual beli untuk mengisyaratkan apa yang dilakukannya itu terlaksana dengan kerelaan sebagaimana layaknya jual beli.
Beliau menuturkan lagi ayat ini menggambarkan mereka tidak memperoleh keuntungan dalam perniagaan, malah mereka rugi dan hilang modal.
Modal yang dimiliki setiap orang adalah fitrah kesucian.
Ini diabaikan sedangkan sepatutnya modal itu dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan berupa amal-amal yang baik.
Tetapi mereka bukan sekadar tidak memperoleh keuntungan, modal mereka juga lenyap karena iman tidak menghiasi jiwa mereka.
– Tijaarah bermakna kiasan bagi perniagaan yang tidak pernah rugi.
Ibn Katsir mengatakan perniagaan itu ditafsirkan dengan ayat berikutnya yaitu dengan beriman kepada Allah dan rasul Nya, berjihad di jalan Allah dengan diri dan harta benda.
Sebagaimana terdapat dalam surah Ash Shaff ayat 10 dan 11,
تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُجَٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمْوَٰلِكُمْ وَأَنفُسِكُمْۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Kesimpulannya, lafaz tijaarah secara umum di dalam Al Qur’an memiliki maksud jual beli atau perniagaan.
Perniagaan itu terdiri dari tiga bentuk.
Pertama, perniagaan yang diketahui umum bisa memperoleh keuntungan atau pun kerugian.
Kedua, perniagaan yang tidak pernah menguntungkan yaitu perniagaan yang membeli petunjuk dengan kesesatan.
Ketiga, perniagaan yang tidak pernah rugi dan selamanya memperoleh keuntungan yaitu perniagaan orang yang beriman dan berjihad.
BHD.
Dinamai “An Nuur” yang berarti “Cahaya”,
diambil dari kata An Nuur yang terdapat pada ayat 35.
Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang Nuur Ilahi, yakni Alquran yang mengandung petunjuk-petunjuk.
Petunjuk-petunjuk Allah itu, merupakan cahaya yang terang benderang menerangi alam semesta.
Surat ini sebagian besar isinya memuat petunjuk-petunjuk Allah yang berhubungan dengan soal kemasyarakatan dan rumah tangga.
Keimanan:
▪ Kesaksian lidah dan anggota-anggota tubuh atas segala perbuatan manusia pada hari kiamat.
▪ Hanya Allah yang menguasai langit dan bumi.
▪ Kewajiban rasul hanyalah menyampaikan agama Allah.
▪ Iman rnerupakan dasar daripada diterimanya amal ibadah.
Hukum:
▪ Hukum-hukum sekitar masalah zina, li’an dan adab-adab pergaulan diluar dan di dalam rumah tangga.
Kisah:
▪ Cerita tentang berita bohong terhadap Ummul mukminin ‘Aisyah r.a. (Qishshatul lfki).
Lain-lain:
▪ Semua jenis hewan diciptakan Allah dari air.
▪ Janji Allah kepada kaum muslimin yang beramal saleh.
Audio

Ayat 1 sampai 64 + Terjemahan
Statistik QS. 24:37
-
Rating RisalahMuslim
Ayat ini terdapat dalam surah An Nuur.
Surah An-Nur (Arab: النّور) adalah surah ke-24 dari Alquran.
Surah ini terdiri atas 64 ayat, dan termasuk golongan surah Madaniyah.
Dinamai An-Nur yang berarti Cahaya yang diambil dari kata An-Nur yang terdapat pada ayat ke 35.
Dalam ayat ini, Allah ﷻ menjelaskan tentang Nur Ilahi, yakni Alquran yang mengandung petunjuk-petunjuk.
Petunjuk-petunjuk Allah itu, merupakan cahaya yang terang benderang menerangi alam semesta.
Surat ini sebagian besar isinya memuat petunjuk- petunjuk Allah yang berhubungan dengan soal kemasyarakatan dan rumah tangga.
Nomor Surah | 24 |
---|---|
Nama Surah | An Nuur |
Arab | النور |
Arti | Cahaya |
Nama lain | – |
Tempat Turun | Madinah |
Urutan Wahyu | 102 |
Juz | Juz 18 |
Jumlah ruku’ | 9 ruku’ |
Jumlah ayat | 64 |
Jumlah kata | 1381 |
Jumlah huruf | 5755 |
Surah sebelumnya | Surah Al-Mu’minun |
Surah selanjutnya | Surah Al-Furqan |
User Review
4.5 (21 votes)URL singkat: risalahmuslim.id/24-37
Pembahasan:
Quran 24:37, 24 37, 24-37, An Nuur 37, tafsir surat AnNuur 37, An Nur 37, An-Nur 37
Video
An-Nur ayat 37
Sebelumnya
Selanjutnya












Panggil Video Lainnya
Podcast
- 🔉 Apa Amalan yang Pahalanya Setara dengan Haji – KonsultasiSyariah
- 🔉 Apakah Manusia Lebih Mulia Dibandingkan Jin – KonsultasiSyariah
- 🔉 Bagaimana Hukum Darah yang Keluar Sebelum Melahirkan – KonsultasiSyariah
- 🔉 Apakah Harus Menjawab Semua Adzan atau Cukup Satu? – KonsultasiSyariah
- 🔉 Bagaimana Cara Memisahkan Barang Kredit dan Tunai – KonsultasiSyariah
- 🔉 Apakah Qabliyah Shubuh Saat Iqamat Shalatnya Batal? – KonsultasiSyariah
- 🔉 Kapan Harus Membatalkan Salat Sunah Karena Dengar Iqamah? – KonsultasiSyariah
- 🔉 Bagaimana Cara Menjaga Kesehatan Hati – KonsultasiSyariah
- 🔉 Kitab Tauhid (Eps. 54): Larangan Mengucapkan “Assalamu ‘Alallah” (artinya: salam untuk Allah) ― Ust. M. Abduh Tuasikal
- 🔉 Kitab Tauhid (Eps. 25): Realita Sebagian Umat Islam Ada yang Menyembah Berhala ― Ust. M. Abduh Tuasikal