“Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.”
(Allah) berfirman,
“Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya engkau dapat melihat-Ku.”
Maka ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.
Setelah Musa sadar, dia berkata,
“Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”
―QS. 7:143
“My Lord, show me (Yourself) that I may look at You.”
(Allah) said,
“You will not see Me, but look at the mountain;
if it should remain in place, then you will see Me.”
But when his Lord appeared to the mountain, He rendered it level, and Moses fell unconscious.
And when he awoke, he said,
“Exalted are You! I have repented to You, and I am the first of the believers.”
―QS. 7:143
وَلَمَّا | dan tatkala
And when
|
---|---|
جَآءَ | datang
came
|
مُوسَىٰ | Musa |
لِمِيقَٰتِنَا | pada waktu yang Kami tentukan
to Our appointed place
|
وَكَلَّمَهُۥ | dan berfirman kepadanya
and spoke to him
|
رَبُّهُۥ | Tuhannya
his Lord,
|
قَالَ | (Musa) berkata
he said,
|
رَبِّ | ya Tuhanku
“O my Lord!
|
أَرِنِىٓ | kepadaku
Show me
|
أَنظُرْ | lihatlah
(that) I may look
|
إِلَيْكَ | Engkau
at You.”
|
قَالَ | berfirman
He said,
|
لَن | tidak akan
“Never
|
تَرَىٰنِى | kamu melihat Aku
you (can) see Me,
|
وَلَٰكِنِ | tetapi
but
|
ٱنظُرْ | lihatlah
look
|
إِلَى | ke
at
|
ٱلْجَبَلِ | bukit
the mountain
|
فَإِنِ | maka jika
[then] if
|
ٱسْتَقَرَّ | ia tetap
it remains
|
مَكَانَهُۥ | pada tempatnya
in its place
|
فَسَوْفَ | maka akan
then
|
تَرَىٰنِى | kamu melihat Aku
you (will) see Me.”
|
فَلَمَّا | maka ketika
But when
|
تَجَلَّىٰ | menampakkan
revealed (His) Glory
|
رَبُّهُۥ | Tuhannya
his Lord
|
لِلْجَبَلِ | pada bukit
to the mountain,
|
جَعَلَهُۥ | menjadikannya
He made it
|
دَكًّا | hancur luluh
crumbled to dust
|
وَخَرَّ | dan jatuh
and fell down
|
Tafsir surah Al A'raaf (7) ayat 143
Tafsir QS. Al A’raaf (7) : 143. Oleh Kementrian Agama RI
Ayat ini menerangkan, manakala Musa as sampai ke tempat dan waktu yang dijanjikan Allah untuk menerima wahyu, Allah telah menyampaikan wahyu-Nya secara langsung tanpa perantara, maka timbul pada diri Musa keinginan untuk memperoleh kemuliaan lain di samping kemuliaan berkata-kata langsung dengan Allah yang baru saja diterimannya.
Keinginan itu ialah mendapat kemuliaan melihat Allah dengan jelas, lalu Musa berkata,
“Ya Tuhanku, perlihatkanlah zat Engkau yang suci dan berilah aku kekuatan untuk dapat melihat Engkau dengan jelas, karena aku tidak sanggup melihat dan mengetahui Engkau dengan sempurna.
Allah menjawab,
“Hai Musa kamu tidak akan dapat melihat-Ku.”
Dalam hadis Nabi ﷺ, disebutkan:
“Dari Abu Musa, ia berkata:
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Hijab (pembatas) Allah ialah nur (cahaya).
Sekiranya nur itu disingkapkan niscaya keagungan sinar wajahnya akan membakar seluruh makhluk yang sampai pandangan Tuhan kepadanya.”
(Riwayat Muslim)
Selanjutnya Allah berkata kepada Musa,
“Melihatlah ke bukit, jika bukit itu tetap kokoh dan kuat seperti sediakala setelah melihat-Ku, tentulah kamu dapat pula melihat-Ku, karena kamu dan gunung itu adalah sama-sama makhluk ciptaan-Ku.
Tetapi jika bukit yang kokoh dan kuat itu tidak tahan dan hancur setelah melihat-Ku bagaimana pula kamu dapat melihat-Ku.
Karena seluruh makhluk yang aku ciptakan tidak mampu dan tidak sanggup untuk melihat-Ku.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata,
“Ketika Musa as memohon kepada Tuhannya,
“Perlihatkanlah zat Engkau kepadaku”
Allah menjawab:
“Kamu sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku.”
Kemudian Allah menegaskan lagi,
“Kamu tidak akan dapat melihat-Ku untuk selama-lamanya hai Musa.”
Tidak seorang pun yang sanggup melihat-Ku, lalu sesudah itu ia tetap hidup.”
Akhirnya Allah berkata,
“Melihatlah ke bukit yang tinggi lagi besar itu, jika bukit itu tetap di tempatnya, tidak bergoncang dan hancur, tentulah ia melihat kebesaran-Ku, mudah-mudahan kamu dapat melihatnya pula, sedangkan kamu benar-benar lemah dan rendah.
Sesungguhnya gunung itu berguncang dan hancur bagaimana pun juga kuat dan dahsyatnya, sedang kamu lebih lemah dan rendah.”
Ada beberapa pendapat mufassir tentang yang dimaksud dengan ayat:
“Ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung-gunung itu”
sebagian mufassir mengatakan bahwa yang nampak bagai gunung itu ialah zat Allah.
Bagaimana pun juga pendapat para mufassir, namun nampaknya Allah itu bukanlah seperti nampaknya makhluk.
Namun penampakan Tuhan tidak sama dengan penampakan manusia sesuai dengan sifat-sifat Allah yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.
Setelah Musa as, sadar dari pingsannya, dan sadar pula bahwa ia telah meminta kepada Allah sesuatu yang dapat membahayakan dirinya, ia merasa telah berbuat dosa, karena itu ia memohon dan berdoa kepada Allah, Maha Suci Engkau,
“Ya Tuhanku, aku berdosa karena meminta sesuatu kepada Engkau yang di luar batas kemampuanku menerimanya, karena itu aku bertaubat kepada Engkau dan tidak akan mengulangi kesalahan seperti yang telah lalu itu, dan aku termasuk orang-orang yang pertama beriman kepada-Mu.”
Mujahid berkata,
“Tubtu ilaika”
(Aku bertaubat kepada Engkau), maksudnya ialah:
Aku bertaubat kepada Engkau, karena aku telah memohon kepada Engkau agar dapat melihat zat Engkau,
“wa ana awwalul muminin”,
(Aku orang yang pertama beriman kepada Engkau) maksudnya aku adalah orang Bani Israil yang pertama beriman kepada Engkau.
Sedang dalam suatu riwayat yang lain dari Ibnu Abbas, ialah orang yang pertama-tama beriman dan tidak seorang pun yang dapat melihat Engkau (di dunia).
Tatkala ia datang untuk bermunajat, Tuhan berbicara langsung kepadanya dalam suatu dialog yang tidak sama dengan pembicaraan yang dilakukan manusia.
Musa berkata,
“Tuhanku, perlihatkanlah zat-Mu kepadaku.
Tampakkanlah diri-Mu agar aku dapat melihat-Mu, sehingga kehormatanku semakin bertambah.”
Allah berfirman,
“Kamu tidak akan sanggup melihat-Ku.”
Kemudian Allah ingin Musa dapat menerima ketidaksanggupannya itu, dan berkata,
“Tapi lihatlah bukit yang lebih kokoh bila dibandingkan dengan kondisimu.
Jika–saat kemunculan-Ku–bukit itu tetap tegar, maka kamu pun bakal mampu melihat-Ku saat Aku muncul di hadapanmu.”
Tatkala Tuhan menampakkan diri-Nya ke bukit, tiba-tiba bukit itu hancur lebur hingga sama rata dengan tanah.
Musa sendiri jatuh pingsan tak sadarkan diri menyaksikan peristiwa dahsyat itu.
Setelah siuman, Musa pun berkata,
“Ya Allah, Mahasuci Engkau dari keterlihatan di dunia ini.
Sungguh aku bertobat kepada-Mu karena telah lancang meminta sesuatu yang tak Engkau izinkan.
Dan aku adalah orang pertama di zamanku yang mengimani keagungan dan kebesaran-Mu.”
Dan ketika Musa datang pada waktu yang ditentukan, yaitu empat puluh malam, Allah berfirman langsung kepadanya dengan menyampaikan wahyu, perintah, dan larangan.
(Pada saat itu) Musa ingin melihat Allah dengan mata kepala, lalu diapun meminta itu kepada-Nya.
Allah berfirman kepadanya:
“Kamu tidak akan dapat melihat-Ku (maksudnya, kamu tidak akan mampu melihat-Ku di dunia), tetapi lihatlah kearah gunung itu.
Apabila ia tetap di tempatnya pada saat aku menunjukkan diri-Ku padanya, maka kamu akan dapat melihat-Ku.”
Tatkala Rabb-nya menampakkan diri-Nya pada gunung itu, hancurlah gunung itu rata dengan tanah, lalu Musa jatuh pingsan.
Ketika tersadar ia berkata:
“Wahai Rabb-ku, aku menyucikan Engkau dari apa yang tidak sesuai dengan keagungan-Mu, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dari permintaanku untuk dapat melihat-Mu dalam kehidupan dunia ini, dan aku adalah orang pertama dari kaumku yang beriman kepada-Mu.”
(Dan tatkala Musa datang untuk munajat dengan Kami pada waktu yang telah Kami tentukan) waktu yang telah Kami janjikan kepadanya akan berbicara dengannya pada waktu itu
(dan Tuhan telah berfirman kepadanya) tanpa perantara dengan pembicaraan yang dapat Musa dengar dari segala penjuru
(berkatalah Musa,
“Ya Tuhanku! Tampakkanlah kepadaku) diri Engkau
(agar aku dapat melihat-Mu.”
Tuhan berfirman,
“Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku) artinya kamu tidak akan mampu melihat-Ku, bila hal itu diungkapkan bukan dengan memakai huruf lan, maka pengertiannya berarti melihat Tuhan itu mungkin dapat dilakukan
(tetapi lihatlah kepada bukit itu) yang bangunannya lebih kuat daripada dirimu
(maka jika ia tetap) tegak seperti sediakala
(pada tempatnya, niscaya kamu dapat melihat-Ku”) engkau dapat melihat-Ku dan jika tidak, maka niscaya kamu tidak akan kuat
(Tatkala Tuhannya tampak) yakni sebagian dari nur-Nya yang hanya sebesar setengah jari manis, demikianlah menurut penjelasan dari hadis yang telah diriwayatkan oleh Al-Hakim
(bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh) dengan dibaca qashr atau pendek dan panjang, yakni gunung itu menjadi lebur rata dengan tanah
(dan Musa jatuh pingsan) tak sadarkan diri karena sangat terkejut melihat apa yang ia saksikan
(Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata,
“Maha Suci Engkau) dengan memahasucikan Engkau
(aku bertobat kepada Engkau) dari permintaan yang aku tidak diperintahkan mengemukakannya
(dan aku orang yang pertama-tama beriman”) pada zamanku ini.
Allah subhanahu wa ta’ala, menceritakan perihal Musa ‘alaihis salam, bahwa ketika masa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadanya telah tiba, dan pembicaraan langsung kepada Allah sedang berlangsung, maka Musa memohon kepada Allah untuk dapat melihat-Nya.
Musa berkata seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.”
Tuhan berfirman.”Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku”
Makna huruf lan dalam ayat ini menyulitkan analisis kebanyakan ulama tafsir, mengingat pada asalnya huruf lan diletakkan untuk menunjukkan makna ta-bid (selamanya).
Karena itulah orang-orang Mu’tazilah berpendapat bahwa melihat Zat Allah merupakan suatu hal yang mustahil di dunia ini dan di akhirat nanti.
Tetapi pendapat ini sangat lemah, mengingat banyak hadis mutawatir dari Rasulullah ﷺ yang menyatakan bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Allah di akhirat nanti, pembahasannya akan kami ketengahkan dalam tafsir firman Allah subhanahu wa ta’ala :
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
(QS. Al-Qiyaamah [75]: 22-23)
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menceritakan perihal orang-orang kafir:
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (melihat) Tuhan mereka.
(83:
15)
Menurut suatu pendapat, huruf lan dalam ayat ini menunjukkan makna pe-nafi-an terhadap pengertian ta-bid di dunia, karena menggabungkan antara pengertian ayat ini dengan dalil qat’i yang membenarkan adanya penglihatan kelak di hari akhirat.
Menurut pendapat lain, makna kalimat ayat ini sama dengan makna kalimat yang terdapat di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Dan Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.
(QS. Al-An’am [6]: 103)
Tafsir ayat ini telah dikemukakan dalam surat Al-An’ am.
Menurut yang tertera di dalam kitab-kitab terdahulu, Allah subhanahu wa ta’ala, berfirman kepada Musa ‘alaihis salam,
“Hai Musa, sesungguhnya tidak ada makhluk hidup pun yang melihat-Ku melainkan pasti mati, dan tiada suatu benda mati pun melainkan ia pasti hancur luluh.”
Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh Firman-Nya:
Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh, dan Musa pun jatuh pingsan.
Sehubungan dengan tafsir ayat ini Abu Ja’far ibnu Jarir At-Tabari di dalam kitabnya mengatakan bahwa:
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sahl Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Qurah ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari seorang lelaki, dari Anas, dari Nabi ﷺ,
“Ketika Tuhannya menampakkan diriNya pada gunung itu dan menunjukkan isyarat-Nya ke gunung itu, maka dengan serta merta gunung, itu menjadi hancur karenaNya.”
Abu Ismail (perawi) menceritakan hadis ini seraya memperlihatkan kepada kami isyarat dengan jari telunjuknya.
Di dalam sanad hadis ini terdapat seorang lelaki yang tidak disebutkan namanya.”
Kemudian Abu Ja’far ibnu Jarir At-Tabari mengatakan:
telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Lais, dari Anas, bahwa Nabi ﷺ membaca ayat berikut:
Tatkala Tuhannya tampak bagi gunitng itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh.
(QS. Al-A’raf [7]: 143)
Lalu Nabi ﷺ mengisyaratkan dengan salah satu jarinya, beliau meletakkan jari jempolnya pada ujung jari kelingkingnya dan bersabda,
“Maka hancur luluhlah gunung itu.”
Demikianlah sanad yang disebutkan di dalam riwayat ini, yaitu Hammad ibnu Salamah, dari Lais, dari Anas, Tetapi menurut riwayat yang masyhur adalah Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas.
Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir:
telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hudbah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala :
Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh.
(QS. Al-A’raf [7]: 143)
Lalu beliau ﷺ meletakkan jari jempolnya pada ujung jari kelingkingnya seraya bersabda,
“Maka seketika itu juga gunung itu hancur luluh.”
Humaid berkata kepada Sabit,
“Apakah beliau ﷺ mengisyaratkan seperti itu?”
Maka Sabit menarik tangannya dan memukulkannya ke dada Humaid seraya berkata,
“Hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah ﷺ, diisyaratkan pula oleh Anas, lalu apakah saya menyembunyikannya?”
Abul Qasim At-Tabrani dan Abu Bakar ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya melalui dua jalur, dari Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Anas secara marfu dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Murdawaih menyandarkannya melalui jalur Ibnul Bailamani, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu’, hal ini pun tidak sahih.
Imam Turmuzi meriwayatkannya, dan Imam Hakim menilainya sahih, tetapi dengan syarat Imam Muslim.
As-Saddi telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala :
Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu.
Bahwa tiada yang ditampakkan oleh Allah melainkan hanya sebesar jari kelingking.
kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh.
Dakkan artinya ‘menjadi abu’.
dan Musa pun jatuh pingsan.
Yakni jatuh tak sadarkan dirinya.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
…dan Musa pun jatuh pingsan.
Maksudnya, jatuh dalam keadaan mati.
Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa bukit itu jebol dan jatuh menggelinding ke laut.
Sedangkan Nabi Musa ikut bersama gunung itu.
Sunaid telah meriwayatkan dari Hajjaj ibnu Muhammad Al-A’war, dari Abu Bakar Al-Huzali sehubungan dengan makna firman-Nya:
Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh,
Disebutkan bahwa gunung itu amblas ke dalam bumi dan tidak akan muncul lagi sampai hari kiamat.
Di dalam sebagian kisah disebutkan bahwa gunung itu amblas ke dalam tanah dan terns amblas ke dalamnya sampai hari kiamat.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abul Balah, bahwa telah menceritakan kepada kami Ai-Ha isain ibnu Kharijah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Husain ibnul Allaf, dari Urwah ibnu Ruwayyim yang mengatakan bahwa sebelum Allah menampakkan Diri-Nya kepada Musa di Tursina, gunung-gunung itu dalam keadaan rata lagi licin.
Tetapi setelah Allah menampakkan diri-Nya kepada Musa di Tursina, maka hancur leburlah gunungnya, sedangkan gunung-gunung lainnya terbelah dan retak-retak serta terbentuklah gua-gua.
Ar-Rabi’ ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh, dan Musa pun jatuh pingsan.
Bahwa ketika hijab Allah dibuka-Nya kepada gunung itu dan gunung itu melihat cahaya-Nya, maka jadilah bukit itu seperti tepung.
Sebagian ulama ada yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
…kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh.
Bahwa makna yang dimaksud dengan dakka ialah fitnah.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
…tetapi melihatiah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya kamu dapat melihat-Ku.
Menurutnya, dikatakan demikian karena gunung itu lebih besar dan lebih kuat daripada Musa sendiri.
Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu.
kejadian itu menjadikan gunung itu.
(QS. Al-A’raf [7]: 143)
Allah memandang gunung itu, maka gunung itu tidak kuat, lalu hancur luluh sampai ke akarnya.
Melihat pemandangan itu, yakni yang terjadi pada gunung itu, maka Musa pun jatuh pingsan.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
…kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh.
Bahwa Allah memandang ke gunung itu, maka gunung itu berubah menjadi padang pasir.
Sebagian ulama qiraat membacanya dengan bacaan demikian, kemudian dipilih oleh Ibnu Jarir.
Dan bacaan ini diperkuat dengan adanya sebuah hadis marfu’ mengenainya yang diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih.
Pengertian as-sa’qu dalam ayat ini ialah pingsan, menurut tafsiran Ibnu Abbas dan lain-lainnya, tidak seperti penafsiran yang dikemukakan oleh Qatadah yang mengatakan bahwa makna as-sa’qu dalam ayat ini ialah mati, sekalipun tafsir yang dikemukakan oleh Qatadah dibenarkan menurut peristilahan bahasa.
Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah.
Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).
(Az Zumar:68)
Karena sesungguhnya dalam ayat ini terdapat qarinah (bukti) yang menunjukkan makna mati, sebagaimana dalam ayat yang sedang kita bahas terdapat qarinah yang menunjukkan makna pingsan, yaitu firman-Nya:
Maka setelah Musa sadar kembali.
Al-Ifaqah atau sadar tiada lain dari orang yang tadinya pingsan.
Musa berkata,
“Mahasuci Engkau.”
Sebagai ungkapan memahasucikan.
mengagungkan, dan memuliakan Allah, bahwa bila ada seseorang yang melihat-Nya di dunia ini niscaya dia akan mati.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
…aku bertobat kepada Engkau.
Mujahid mengatakan makna yang dimaksud ialah ‘saya kapok, tidak akan meminta untuk melihat-Mu lagi’.
…dan aku orang yang pertama-tama beriman.
Demikianlah menurut takwil Ibnu Abbas dan Mujahid, dari Bani Israil, pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Menurut riwayat yang lain dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
…dan aku orang yang pertama-tama beriman.
Disebutkan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat melihat-Mu.
Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, bahwa sebelum itu memang telah ada orang-orang yang beriman, tetapi makna yang dimaksud di sini ialah
“saya orang yang mula-mula beriman kepada Engkau, bahwa tidak ada seorang makhluk-Mu yang dapat melihat-Mu sampai hari kiamat”.
Pendapat ini cukup baik dan mempunyai alasan.
Muhammad ibnu Jarir di dalam kitab Tafsir-nya.
sehubungan dengan ayat ini telah mengetengahkan sebuah asar yang cukup panjang mengenainya di dalamnya terdapat banyak hal yang garib dan ajaib, bersumber dari Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar.
Tetapi seakan-akan Muhammad ibnu Ishaq menerimanya dari berita-berita Israiliyat.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
Dan Musa pun jatuh pingsan.
Sehubungan dengan makna ayat ini terdapat hadis Abu Sa’id dan Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, yang menerangkan tentangnya.
Hadis Abu Sa’id di-sanad-kan oleh Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya, dalam bab tafsir ayat ini.
Untuk itu ia mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Yahya Al-Mazini, dari ayahnya, dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a. yang menceritakan bahwa seorang lelaki Yahudi datang kepada Nabi ﷺ, sedangkan mukanya baru saja ditampar, lalu ia mengadu,
“Hai Muhammad, sesungguhnya seseorang dari sahabatmu dari kalangan Ansar telah menampar wajahku.”
Nabi ﷺ bersabda,
“Panggillah dia!”
Lalu mereka memanggil lelaki itu dan bersabda kepadanya,
“Mengapa engkau tampar mukanya?”
Lelaki Ansar menjawab,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ketika saya sedang lewat bersua dengan orang Yahudi, lalu orang Yahudi itu kudengar mengatakan, ‘Demi Tuhan yang telah memilih Musa atas manusia semuanya.’ Lalu saya mengatakan kepadanya, ‘Dan juga di atas Muhammad?’ Lelaki itu menjawab, ‘Ya juga di atas Muhammad.’ Maka saya menjadi emosi, lalu kutampar mukanya,”
Rasulullah ﷺ bersabda:
Janganlah kalian melebihkan aku di atas para nabi semuanya, karena sesungguhnya manusia pasti pingsan di hari kiamat, dan aku adalah orang yang mula-mula sadar.
Tiba-tiba aku menjumpai Musa sedang memegang kaki A’rasy.
Aku Tidak mengetahui apakah dia sadar sebelumku ataukah dia telah beroleh balasannya ketika mengalami pingsan di Bukit Tur.
Imam Bukhari telah meriwayatkannya di berbagai tempat (bab) dari kitab Sahih-nya, dan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab Sahih-nya dalam pembahasan
“Kisah-kisah para Nabi”.
Imam Abu Daud telah meriwayatkannya di dalam kitab Sunnah-nya melalui berbagai jalur dari Amr ibnu Yahya ibnu Imarah ibnu Abul Hasan Al-Mazini Al-Ansari Al-Madani, dari ayahnya, dari Abu Sa’id Sa’d ibnu Malik ibnu Sinan Al-Khudri dengan lafaz yang sama.
Adapun mengenai hadis Abu Hurairah, Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya menyebutkan bahwa:
telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa’d, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman dan Abdur Rahman Al-A’raj, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki bertengkar, salah seorangnya adalah orang muslim, sedangkan yang lain orang Yahudi.
Orang Muslim mengatakan,
“Demi Tuhan yang telah memilih Muhammad atas semua manusia.”
Maka si Yahudi berkata,
“Demi Tuhan yang telah memilih Musa atas semua manusia.”
Maka orang muslim itu marah kepada si Yahudi, lalu ia menamparnya.
Kemudian orang Yahudi itu datang kepada Rasulullah ﷺ Ketika Rasulullah ﷺ menanyakan kedatangannya, maka lelaki Yahudi itu mengadukan perkaranya.
Lalu Rasulullah ﷺ memanggil si lelaki muslim itu, dan si lelaki muslim mengakui hal tersebut.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda:
Janganlah kalian melebihkan aku atas Musa, karena sesungguhnya semua orang mengalami pingsan di hari kiamat nanti, dan aku adalah orang yang mula-mula sadar.
Tiba-tiba aku melihat Musa sedang memegang bagian sisi ‘Arasy.
Aku tidak mengetahui apakah dia termasuk orang-orang yang pingsan, lalu ia sadar sebelumku, ataukah dia termasuk orang yang dikecualikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, (tidak mengalami pingsan)
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri dengan sanad yang sama.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Abud Dunya telah meriwayatkan bahwa orang yang menampar si Yahudi itu dalam kasus tersebut adalah sahabat Abu Bakar As- Siddiq r.a. Akan tetapi, menurut keterangan hadis yang terdahulu dari kitab Sahihain disebutkan bahwa lelaki yang menampar si Yahudi itu adalah seorang Ansar, hal ini lebih sahih dan lebih jelas.
Pengertian yang tersirat dari sabda Nabi ﷺ yang mengatakan:
Janganlah kalian mengutamakan aku atas Musa.
Sama halnya dengan pengertian yang terkandung di dalam sabdanya yang lain, yaitu:
Janganlah kalian mengutamakan diriku atas para nabi, jangan pula atas Yunus ibnu Mata
Menurut suatu pendapat, hal ini termasuk ke dalam Bab
“Tawadu’ (rendah diri) Nabi ﷺ”.
Tetapi menurut pendapat lain, hal tersebut diungkapkan oleh Nabi ﷺ sebelum Nabi ﷺ mengetahui keutamaan dirinya di atas semua makhluk.
Menurut pendapat lainnya,-Nabi ﷺ melarang bila dirinya paling diutamakan di antara para nabi lainnya dengan cara emosi dan fanatisme.
Dan menurut pendapat lainnya lagi, hal tersebut dilarang bila dikatakan hanya sekadar pendapat sendiri dan seenaknya.
Sabda Nabi ﷺ yang mengatakan:
Sesungguhnya semua manusia akan mengalami pingsan pada hari kiamat nanti.
Menurut makna lahiriahnya ‘pingsan’ ini terjadi menjelang hari kiamat, karena pada hari itu terjadilah suatu perkara yang membuat mereka semuanya tidak sadarkan dirinya.
Barangkali pula hal tersebut terjadi di saat Tuhan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi datang untuk memutuskan peradilan, lalu Dia menampakkan diri-Nya pada semua makhluk untuk melakukan pembalasan terhadap mereka.
Perihalnya sama dengan pingsan yang dialami oleh Musa ‘alaihis salam karena Tuhan menampakkan diri-Nya.
Untuk itulah, maka dalam hadis ini disebutkan melalui sabdanya:
Aku tidak mengetahui apakah Musa sadar sebelumku.
ataukah dia sudah cukup mendapat balasannya ketika mengalami pingsan di Bukit Tur.
Al-Qadi Iyad di dalam permulaan kitab Asy-Syifa telah meriwayatkan berikut sanadnya dari Muhammad ibnu Muhammad ibnu Marzuq:
bahwa telah menceritakan kepada kami Qatadah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, dari Qatadah, dari Yahya ibnu Wassab, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda:
Ketika Allah menampakkan diri-Nya kepada Musa as., maka Musa dapat melihat semut yang berada di Bukit Safa (Mekah) dalam kegelapan malam sejauh perjalanan sepuluh farsakh (pos).
Kemudian Al-Qadi Iyad mengatakan,
“Tidaklah jauh pengertian hal ini dengan apa yang dialami oleh Nabi kita.
sebagai keistimewaan buatnya, sesudah beliau mengalami Isra dan menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang terbesar.”
Demikianlah menurut Al-Qadi Iyad, seakan-akan dia menilai sahih hadis ini.
Tetapi kesahihan hadis ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat para perawi yang disebutkan di dalam sanadnya terdapat orang-orang yang tidak dikenal.
Sedangkan hal semisal ini hanya dapat diterima bila diketengahkan melalui periwayatan orang-orang yang adil lagi dabit sampai ke penghujung sumbernya.
Dinamakan “Al-A’raaf” karena perkataan Al A’raaf terdapat dalam ayat 46 yang mengemukakan tentang keadaan orang-orang yang berada di atas Al-A’raaf yaitu:
tempat yang tertinggi di batas surga dan neraka.
Mereka itu ialah golongan yang sama banyak kebaikan dan kejahatan mereka.
Keimanan:
▪ Mentauhidkan Allah dalam berdo’a dan beribadat.
▪ Hanya Allah sendiri yang mengatur dan menjaga alam.
▪ Allah menciptakan undang-undang dan hukum-hukum untuk mengatur kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
▪ Allah bersemayam di ‘Arasy.
▪ Bantahan terhadap kepalsuan syirik.
▪ Ketauhidan adalah sesuai dengan fitrah manusia.
▪ Nabi Musa berbicara dengan Allah.
▪ Tentang melihat Allah.
▪ Perintah beribadat sambil merendahkan diri kepada Allah.
▪ Allah mempunyai al asma’ul husna.
Hukum:
▪ Larangan mengikuti perbuatan dan adat istiadat yang buruk.
▪ Kewajiban mengikuti Allah dan rasul.
▪ Perintah berhias waktu akan shalat.
▪ Bantahan terhadap orang yang mengharamkan perhiasan yang dianugerahkan Allah.
▪ Perintah memakan makanan yang halal lagi baik dan larangan memakan yang sebaliknya.
Kisah:
▪ Kisah Nabi Adam `alaihis salam dengan iblis.
▪ Kisah Nabi Nuh `alaihis salam dan kaumnya.
▪ Kisah Nabi Shaleh `alaihis salam dengan kaumnya.
▪ Kisah Nabi Syu’aib `alaihis salam dengan kaumnya.
▪ Kisah Nabi Musa `alaihis salam dengan Fir’aun.
Lain-lain:
▪ Alquran diturunkan kepada Nabi yang penghabisan dan perintah mengikutinya.
▪ Nabi Muhammad ﷺ diutus untuk seluruh manusia.
▪ Adab orang mukmin.
▪ Adab mendengar pembacaan Alquran dan berzikir.
▪ Rasul bertanggung jawab menyampaikan seruan Allah.
▪ Balasan terhadap orang-orang yang mengikuti dan mengingkari rasul.
▪ Dakwah rasul-rasul yang pertama sekali ialah mentauhidkan Allah.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206
Audio

Ayat 1 sampai 206 + Terjemahan
Statistik QS. 7:143
-
Rating RisalahMuslim
Ayat ini terdapat dalam surah Al A'raaf.
Surah Al-A’raf (bahasa Arab:الأعراف, al-A’rāf, “Tempat Tertinggi”) adalah surah ke-7 dalam Alquran.
Surah ini terdiri atas 206 ayat dan termasuk pada golongan surah Makkiyah.
Surah ini diturunkan sebelum turunnya surah Al-An’am dan termasuk golongan surah Assab ‘uththiwaal (tujuh surat yang panjang).
Dinamakan Al-A’raf karena perkataan Al-A’raf terdapat dalam ayat 46 yang mengemukakan tentang keadaan orang-orang yang berada di atas Al-A’raf yaitu: tempat yang tertinggi di batas surga dan neraka.
Nomor Surah | 7 |
---|---|
Nama Surah | Al A’raaf |
Arab | الأعراف |
Arti | Tempat yang tertinggi |
Nama lain | – |
Tempat Turun | Mekkah |
Urutan Wahyu | 39 |
Juz | Juz 8 (ayat 1-87), juz 9 (ayat 88-206) |
Jumlah ruku’ | 0 |
Jumlah ayat | 206 |
Jumlah kata | 3346 |
Jumlah huruf | 14437 |
Surah sebelumnya | Surah Al-An’am |
Surah selanjutnya | Surah Al-Anfal |
User Review
5 (1 vote)URL singkat: risalahmuslim.id/7-143
Pembahasan:
Quran 7:143, 7 143, 7-143, Al A'raaf 143, tafsir surat AlAraaf 143, Al Araf 143, Al-A'raf 143
Video
Al-A'raf ayat 143
Sebelumnya
Selanjutnya












Panggil Video Lainnya
Podcast
- 🔉 Kitab Tauhid (Eps. 32): Mengisbatkan Hujan Kepada Bintang-bintang ― Ust. M. Abduh Tuasikal
- 🔉 Kapan Mengatakan Insya Allah? – KonsultasiSyariah
- 🔉 Kapan Waktu Mencukur Rambut Bayi – KonsultasiSyariah
- 🔉 Kitab Tauhid (Eps. 4): Tauhid Menghapuskan Setiap Dosa ― Ust. M. Abduh Tuasikal
- 🔉 Bolehkah Makan Dengan 2 Tangan – KonsultasiSyariah
- 🔉 Larangan Membasuh Anggota Wudu Lebih dari 3 Kali – KonsultasiSyariah
- 🔉 Apakah Harus Menjawab Semua Adzan atau Cukup Satu? – KonsultasiSyariah
- 🔉 Benteng yang Dijaga Dzikrullah, Apa maksudnya? – KonsultasiSyariah
- 🔉 Kitab Tauhid (Eps. 10): Ruqyah & Jimat ― Ust. M. Abduh Tuasikal
- 🔉 Cara Membagi Waris Sebelum Meninggal – KonsultasiSyariah