Tafsir QS. Al-Ahqaf (46) : 7. Oleh Kementrian Agama RI
Ayat ini menerangkan sikap orang-orang musyrik ketika Rasulullah ﷺ membacakan ayat-ayat Alquran kepada mereka.
Mereka mengatakan bahwa ayat-ayat Alquran itu adalah sihir yang dibacakan oleh tukang sihir, yaitu Muhammad ﷺ.
Menurut mereka, tukang sihir memang biasa mengada-adakan kebohongan dan menyihir orang lain untuk mencapai maksudnya.
Dalam ayat yang lain diterangkan tuduhan orang-orang musyrik terhadap Alquran bahwa Alquran adalah mimpi yang kacau yang diada-adakan, dan Muhammad ﷺ adalah seorang penyair.
Allah ﷻ berfirman:
بَلْ قَالُوْٓا اَضْغَاثُ اَحْلَامٍۢ بَلِ افْتَرٰىهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا بِاٰيَةٍ كَمَآ اُرْسِلَ الْاَوَّلُوْنَ
Bahkan mereka mengatakan,
"(Alquran itu buah) mimpi-mimpi yang kacau, atau hasil rekayasanya (Muhammad), atau bahkan dia hanya seorang penyair, cobalah dia datangkan kepada kita suatu tanda (bukti), seperti halnya rasul–rasul yang diutus terdahulu." (Al-Anbiyaa [21]: 5)
Orang-orang musyrik menuduh Muhammad sebagai tukang sihir karena menurut mereka, Abu Al-Walid bin Al-Mugirah pernah disihirnya.
Karena pengaruh sihir itu, ia menyatakan kekagumannya terhadap ayat-ayat Alquran yang dibacakan Rasulullah ﷺ kepadanya.
Kisah ini bermula ketika pada suatu waktu, sebelum Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, para pemimpin Quraisy berkumpul untuk merundingkan cara menundukkan Rasulullah.
Setelah bermusyawarah, akhirnya mereka sepakat mengutus Abu Al-Walid, seorang sastrawan Arab yang tak ada bandingannya waktu itu untuk datang kepada Rasulullah, meminta kepada beliau agar berhenti menyampaikan risalahnya.
Sebagai jawaban, Rasulullah membaca Surah 41 (Fushshilat) dari awal sampai akhir.
Abu Al-Walid terpesona mendengar bacaan ayat itu;
ia termenung memikirkan ketinggian isi dan keindahan gaya bahasanya.
Kemudian ia langsung kembali kepada kaumnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Rasulullah.
Setelah Abu Al-Walid kembali, ia ditanya oleh kaumnya tentang hasil usahanya.
Mereka heran, mengapa Abu Al-Walid bermuram durja.
Abu Al-Walid menjawab,
"Aku telah datang kepada Muhammad dan ia menjawab dengan membacakan ayat-ayat Alquran kepadaku.
Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu.
Tetapi perkataan itu bukanlah syair, bukan sihir, dan bukan pula kata-kata ahli tenung.
Sesungguhnya Alquran itu ibarat pohon yang daunnya rindang, akarnya terhujam ke dalam tanah, susunan kata-katanya runtun dan enak didengar.
Alquran itu bukanlah kata-kata manusia.
Ia sangat tinggi dan tidak ada yang dapat menandingi keindahan susunannya."
Mendengar jawaban Abu Al-Walid itu, kaum Quraisy menuduhnya telah berkhianat dan cenderung tertarik kepada agama Islam karena telah terkena pengaruh sihir Nabi Muhammad.
Dari sikap Abu Al-Walid setelah mendengar ayat-ayat Alquran dan sikap orang-orang musyrik Mekah itu kepada Abu Al-Walid, dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya hati mereka telah mengakui kebenaran Alquran, telah mengagumi isi dan gaya bahasanya, namun ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk mengucapkan dan menyatakan kebenaran itu.
Abu Al-Walid seorang yang mereka banggakan keahliannya dalam sastra dan bahasa Arab selama ini, tidak berkutik sedikit pun dan terpesona mendengarkan ayat-ayat Alquran.
Bagaimana halnya dengan mereka yang jauh lebih rendah pengetahuannya dari Abu Al-Walid?
Karena tidak ada satu alasan pun yang dapat mereka kemukakan, dan untuk menutupi kelemahan mereka, maka mereka langsung menuduh bahwa Alquran adalah sihir yang berbentuk syair, dan Muhammad itu adalah tukang sihir yang menyihir orang dengan ucapan-ucapan yang berbentuk syair.
Dalam ayat yang lain, diterangkan bahwa sebab-sebab yang mendorong orang musyrikin tidak mau mengakui kebenaran Alquran sekalipun hati mereka sendiri telah mengakuinya, ialah kefanatikan mereka terhadap kepercayaan nenek moyang mereka.
Allah ﷻ berfirman:
بَلْ قَالُوْٓا اِنَّا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا عَلٰٓى اُمَّةٍ وَّاِنَّا عَلٰٓى اٰثٰرِهِمْ مُّهْتَدُوْنَ
Bahkan mereka berkata,
"Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka." (Az-Zukhruf [43]: 22).
Di samping kefanatikan kepada ajaran nenek moyang, mereka juga khawatir akan kehilangan kedudukan sebagai pemimpin suku atau kabilah, jika mereka menyatakan isi hati mereka yang sebenarnya terhadap kebenaran risalah Nabi Muhammad.