Abdul Qadir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani (bahasa Kurdi: Evdilqadirê Geylanî, bahasa Persia: عبد القادر گیلانی, bahasa Urdu: عبد القادر آملی گیلانی Abdolqāder Gilāni) (470–561 H) (1077–1166 M) adalah seorang ulama fiqih yang sangat dihormati oleh Sunni dan dianggap wali dalam dunia tarekat dan sufisme.
Ia adalah orang Kurdi atau orang Persia.
Syekh Abdul Qadir dianggap wali dan diadakan di penghormatan besar oleh kaum Muslim dari anak benua India.
Di antara pengikut di Pakistan dan India, ia juga dikenal sebagai Ghaus-e-Azam.
Nama & gelar
Nama Abdul Qadir Jaelani juga dilafalkan Abdul Qadir Gaylani, Abdel kader, Abdul Qadir, Abdul Khadir – Jilani, Jeelani, Gailani, Gillani, Gilani, Al Gilani, Keilany, Abdel Qader Gilany
Kelahiran
Abdul Qadir lahir pada hari Rabu tanggal 1 Ramadan di 470 H, 1077 M.
selatan Laut Kaspia yang sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran.
Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al_A’zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani Amoli.
Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H.
Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama.
Genealogi
Ibnul Imad menyebutkan bahwa nama lengkap syekh ini adalah Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailany.
Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha, melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi.
Syekh Sayyid Abdurrahman Jami memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A’zham sebagi berikut:
“Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A’zham.
Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu”.
Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut: Dari Ayahnya(Hasani):
Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad Al Akbar bin Dawud bin Musa At-tsani bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdullah Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam
Dari ibunya(Husaini): Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah ‘Atha bin Mahmud bin Kamaluddin Isa bin Abi Jamaluddin bin Abdullah Sami’ Az-Zahid bin Abu Ala’uddin (ﻋﻼﺀﺍﻟﺪﻳﻦﺍﻟﺠﻭﺍﺩ) bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal ‘Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam
Pendidikan
Dalam usia 18 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M.
Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali.
Di Baghdad dia belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimiseim.
Dia menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani.
Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh.
Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut.
Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat dia.
Banyak pula orang yang bersimpati kepada dia, lalu datang menimba ilmu di sekolah dia hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Dakwah, ketokohan & pengaruh
Awal Kemasyhuran
Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya,
“Tidur dan bangunku sudah diatur.
Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara.
Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara.
Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya.
Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku.
Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah.
Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu.
Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut.
Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushola.
Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku.
Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu ‘anhum.
Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata,
“Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri,
“kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang”.
Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka”.
“Sesungguhnya” kata suara tersebut,
“Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu”.
“Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku” tanyaku.
“Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu”
jawab suara itu.
Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah.
Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat.
Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
Murid
Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqih terkenal al Mughni.