Lafaz ini adalah mashdar dari lafaz thayyaba yaitu menjadikan sesuatu baik dan suci.
Ath thayyib mengandung makna setiap sesuatu yang melezatkan indera atau diri, setiap sesuatu yang kosong dari yang menyakitkan dan kotor atau najis, orang yang lepas dari segala kehinaan dan bersifat dengan segala kemuliaan, ungkapan fulaan thayyibal qalb bermakna si fulan batin (hatinya) bersih, begitu juga dengan thayyibal izaar atau kain yang bersih.
Ath thayyib minal bilaad artinya tanah yang baik.
Lafaz thayyib disebut 13 kali di dalam Al Qur’an yaitu dalam surah:
-Al Baqarah (2), ayat 168;
-Ali Imran (3), ayat 179;
-An Nisaa (4), ayat 2, 43;
-Al Maa’idah (5), ayat 6, 88, 100;
-Al A’raaf (7), ayat 58;
-Al Anfaal (8), ayat 37, 69;
-An Nahl (16), ayat 114;
-Al Hajj (22), ayat 24;
-Faathir (35), ayat 10.
Al Kafawi berkata,
“Aththayyib mengandung tiga makna, yaitu:
-ath thaahir (suci atau bersih),
-al halal (halal),
-al mustalidz (yang melazatkan).
Oleh karena itu lafaz ini dapat digunakan pada perkara akhlak, percakapan dan manusia secara umumnya.
Di dalam Al Qur’an lafaz thayyib mengandung beberapa makna:
1. Halal
Ia dikaitkan dengan makanan.
Makna ini terdapat dalam surah:
-Al Baqarah (2), ayat 168;
-Al Maa’idah (5), ayat 88;
-Al Anfaal (8), ayat 69;
-An Nahl (16), ayat 16;
-An Nisaa (4), ayat 2.
Muhammad Quraish Shihab menyatakan ahli-ahli tafsir ketika menjelaskan lafaz ini dalam konteks perintah makan menyatakan ia berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (expiry), atau dicampuri benda najis.
Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya, jadi lafaz thayyib dalam makanan adalah makanan yang sehat, profesional dan selamat.
Sehat berarti makanan yang memiliki zat yang cukup dan seimbang seperti madu (An Nahl (16), ayat 69); padi (As Sajadah (32), ayat 27); ikan (An Nahl (16), ayat 14 dan sebagainya.
Profesional berarti sesuai dengan keperluan pemakan, tidak lebih dan tidak kurang, dan arti selamat ialah dengan memperhatikan sisi takwa yang intinya adalah berusaha menghindari segala yang mengakibatkan siksa dan terganggunya rasa aman.
Dalam surah An Nisaa (4), ayat 2, Sa’id bin Jubair berkata,
“Janganlah kamu menggantikan harta manusia yang haram dengan harta kamu yang halal atau janganlah kamu menggantikan harta kamu yang halal dengan memakan harta mereka yang haram.”
2. Suci
Karena lafaz ini dikaitkan dengan perkataan sha’iidan yang berarti debu atau tanah.
Makna ini terdapat dalam surah An Nisaa (4), ayat 43 dan Al Maa’idah (5), ayat 6.
Ibn Qutaibah berkata,
“Lafaz sha’iidan thayyiban bermakna debu yang bersih:’
Dalam Tafsir Al Jalalayn ia bermakna debu yang suci, maka pukullah dengannya dua kali.
3. Perkataan yang baik
Karena lafaz ini dikaitkan dengan al qaul dan al kalim. Makna untuk lafaz ini terdapat dalam surah Al Hajj (22), ayat 24 dan Faathir (35), ayat 10.
Asy Syaukani menukilkan laporan Ibn Mundzir dan Ibn Abi Hatim dari Isma’il bin Abi Khalid beliau berkata,
“Ia adalah Al Qur’an.”
Diriwayatkan Ibn Abi Hatim dari Ibn Zaid beliau berkata,
“La Ilaha lllallah, Wallaahu Akbar Walhamdulillaah bagi al kalim Ath thayyib, yaitu dalam surah Faathir (35), ayat 10
As Sabuni menafsirkan ia bermakna kalam yang baik dan perkataan yang bermanfaat karena di dalam syurga tidak ada perkataan yang sia-sia maupun dusta.
Dalam surah Faathir ia bermakna setiap perkataan yang baik berupa doa, zikir, membaca Al Qur’an, tasbih, tahmid dan sebagainya.
4. Bumi atau tanah yang baik
Ia dikaitkan dengan perkataan ‘al balad yaitu negeri, seperti yang terdapat dalam surah Al A’raaf (7), ayat 58.
Ibn Katsir berkata,
“Makna al baladuth thayyib ialah tanah yang baik dan subur yang mengeluarkan tumbuh-tumbuhannya dengan cepat dan elok,” seperti firman Allah yang bermakna “Maka ia (Maryam) diterima oleh Tuhannya dengan didikan yang baik dan dibesarkannya dengan didikan yang baik” (Ali Imran, ayat 37).
Az Zamakhsyari berkata,
“Ia adalah negeri yang baik dengan tanah yang subur lagi mulia.”
Ali bin Abi Talhah meriwayatkan dari Ibn Abbas ayat ini merupakan permisalan bagi orang mukmin.
5. Misalan bagi orang Mukmin
Makna ini terdapat dalam surah Ali ‘Imran (3), ayat 179; Al Maa’idah (5), ayat 100; dan Al Anfaal (8), ayat 37.
Ibn ‘Abbas berkata: “Ia bermakna ahlash sha’adah (ahli kebahagiaan).
Al Qatadah berkata,
“Orang yang berjihad dan berhijrah.”
Muqatil berkata,
“Ia bermakna seorang mukmin.”
Abu Salih meriwayatkan dari Ibn Abbas ia bermakna amalan yang shaleh.
Ibn Zaid dan Al Zujjaj berkata,
“Ia adalah menafkahkan yang baik di jalan Alah.
Al Fakh Al Razi berkata,
“Ath thayyib ada dua jenis: bersifat jasmani, dan ia telah maklum bagi setiap individu; adapun yang bersifat rohani adalah perkara yang paling baik ialah mengenal Allah dan taat kepada perintah Allah, karena rohani yang mengenal Allah dan berterusan berkhidmat kepada Allah akan bersinar dengan nur makrifat Ilahi yang selalu rindu mendekatkan diri di samping Tuhan pentadbir alam dan masuk ke dalam kumpulan para malaikat serta mendampingi nabi, para shiddiqiin, syuhada’ dan orang shaleh.
Sumber : Kamus Al Qur’an, PTS Islamika SDN BHD, Hal: 351-352