―QS. 7:204
Tafsir surah Al A'raaf (7) ayat 204
Tafsir QS. Al A’raaf (7) : 204. Oleh Kementrian Agama RI
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ayat ini diturunkan karena sahabat salat di belakang Rasulullah sambil berbicara.
Allah dalam ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar mereka memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada Al-Quran.
Hendaklah mereka mendengarkan sebaik-baiknya ataupun isinya untuk dipahami, mengambil pelajaran-pelajaran dari padanya dan mengamalkannya dengan ikhlas.
Sabda Rasulullah ﷺ:
Barangsiapa mendengarkan (dengan sungguh-sungguh) ayat dari Al-Quran, dituliskan baginya kebaikan yang berlipat ganda dan barang siapa membacanya, adalah baginya cahaya pada hari Kiamat.”
(Riwayat Bukhari dan Imam Ahmad dari Abu Hurairah)
Hendaklah orang-orang mukmin itu bersikap tenang sewaktu Al-Quran dibacakan, sebab di dalam ketenangan itulah mereka dapat merenungkan isinya.
Janganlah pikiran mereka melayang-layang sewaktu Al-Quran diperdengarkan, sehingga tidak dapat memahami ayat-ayat itu dengan baik.
Allah akan menganugerahkan rahmat-Nya kepada kaum Muslimin bilamana mereka memenuhi perintah Allah tersebut dan menghayati isi Al-Quran.
Ada beberapa pendapat seputar perintah untuk mendengarkan dan bersikap tenang sewaktu Al-Quran dibacakan:
1. Wajib mendengarkan dan bersikap tenang ketika Al-Quran dibacakan berdasarkan perintah tersebut, baik di dalam salat ataupun diluar salat.
Demikianlah pendapat Hasan al-Bashri dan Abu Muslim al-Ashfahani.
2. Wajib mendengarkan dan bersikap tenang, tetapi khusus pada bacaan-bacaan Rasul ﷺ di zaman beliau dan bacaan iman dalam salat, serta bacaan khatib dalam khutbah Jumat.
3. Mendengarkan bacaan Al-Quran di luar salat dan khutbah seperti resepsi dipandang sangat dianjurkan agar kita mendapat rahmat Allah.
Wahai orang-orang yang beriman, apabila Alquran dibacakan kepada kalian, maka simaklah agar kalian dapat merenungi pesan-pesan kebaikan (maw’izhah).
Simaklah sepenuh hati agar kalian mendapat rahmat.
Wahai manusia, apabila Alquran dibacakan kepada kalian, dengarkan dan perhatikanlah sehingga kalian merenungkannya agar kalian mendapat rahmat Allah.
(Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah) jangan berbicara
(agar kamu mendapat rahmat) ayat ini diturunkan sehubungan dengan perintah tidak boleh berbicara sewaktu khutbah Jumat yang diungkapkan oleh ayat ini dengan istilah Alquran, mengingat khutbah itu mengandung ayat-ayat Alquran.
Menurut pendapat lain berkaitan dengan pembacaan Alquran secara mutlak.
Setelah Allah subhanahu wa ta’ala, menyebutkan bahwa Alquran adalah bukti-bukti yang nyata bagi manusia dan petunjuk serta rahmat bagi mereka, lalu Allah subhanahu wa ta’ala, memerintahkan agar mereka mendengarkannya baik-baik serta penuh perhatian dan tenang di saat Alquran dibacakan, untuk mengagungkan dan menghormatinya, janganlah seperti yang sengaja dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy saat mendengarnya, seperti yang disitir oleh Al-Qur*an, bahwa mereka berkata:
Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Alquran ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya.
(QS. Fushshilat [41]: 26), hingga akhir ayat.
Keharusan ini bertambah kukuh dalam salat fardu bila imam membacanya dengan suara keras, seperti yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahih-nya melalui hadis Abu Musa Al-Asy’ari r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
Sesungguhnya imam itu dijadikan hanyalah untuk diikuti.
Maka apabila imam bertakbir, bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca (Al Qur’an), dengarkanlah (bacaannya) dengan penuh perhatian dan tenang.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh para pemilik kitab Sunnah melalui hadis Abu Hurairah.
Hadis ini dinilai sahih oleh Muslim ibnul Hajjaj, tetapi ia sendiri tidak mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya.
Ibrahim ibnu Muslim Al-Hajri telah meriwayatkan dari Abu Iyad, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa pada awal mulanya mereka sering berbicara dalam salat, tetapi ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya:
Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan ayat berikutnya, maka mereka diperintahkan untuk tenang.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Asim, dari Al-Musayyab ibnu Rafi’ yang mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud pernah menceritakan,
“Dahulu para sahabat biasa mengucapkan salam di antara sesamanya dalam salat,
“maka turunlah ayat yang mengatakan:
Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Basyir ibnu Jabir yang mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud ketika sedang salat mendengar sejumlah orang ikut membaca Alquran bersama imam.
Setelah Ibnu Mas’ud selesai dari salatnya, ia mengatakan,
“Ingatlah, sekarang sudah saatnya bagi kalian untuk mengerti dan sudah saatnya untuk menggunakan pikiran.
‘Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang.’ Seperti yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abus Saib, telah menceritakan kepada kami Hafs, dari Asy’as, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang pemuda dari kalangan Ansar.
Disebutkan bahwa setiap kali Rasulullah ﷺ membaca Alquran dalam salatnya, maka pemuda itu ikut membacanya pula, lalu turunlah ayat ini:
Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang.
Imam Ahmad dan para pemilik kitabSunnah telah meriwayatkan melalui hadis Az-Zuhri, dari Abu Aktamah Al-Laisi, dari Abu Hurairah, bahwa setelah Rasulullah ﷺ selesai dari salat yang keras bacaannya, beliau bersabda:
“Apakah ada seseorang di antara kalian yang ikut membaca bersamaku?”
Seorang lelaki menjawab,
“Ya saya wahai Rasulullah
”
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sesungguhnya aku akan mengatakan, ‘Saya tidak akan bersaing dalam Alquran’.”
Maka sejak saat itu orang-orang berhenti dari kebiasaan membaca bersama Rasulullah ﷺ dalam salat yang keras bacaannya, yaitu sejak mereka mendengar hal tersebut dari Rasulullah ﷺ Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan, dan dinilai sahih oleh Abu Hatim Ar-Razi.
Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dan Yunus, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa orang yang berada di belakang imam tidak boleh ikut membaca dalam salat yang bacaannya dikeraskan oleh imam.
Bacaannya sudah cukup ditanggung oleh bacaan imam, sekalipun imam tidak memperdengarkan bacaannya kepada mereka.
Tetapi mereka harus membaca dalam salat yang imam tidak mengeraskan bacaannya padanya, yaitu dengan suara yang perlahan dan hanya dapat didengar oleh mereka sendiri.
Seseorang yang berada di belakang imam tidak layak pula ikut membaca bersama imam dalam salat jahriyah-nya, baik dengan bacaan perlahan maupun keras, karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala, telah berfirman:
Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapat rahmat.
Menurut kami, pendapat di atas merupakan pendapat segolongan ulama.
Mereka mengatakan bahwa makmum tidak wajib membaca dalam salat yang bacaannya dikeraskan oleh imam, baik Fatihahnya maupun surat lainnya.
Demikianlah menurut salah satu di antara dua pendapat di kalangan mazhab Syafi’i.
Pendapat ini merupakan qaul qadim dari Imam Syafi’i, sama dengan mazhab Imam Malik dan suatu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal, karena berdasarkan dalil yang telah disebutkan di atas.
Imam Syafi’i dalam qaul jadid-nya mengatakan.”Makmum hanya diperbolehkan membaca Al-Fatihah saja.
yaitu di saat imam sedang diam.”Pendapat ini dikatakan oleh sejumlah sahabat dan tabi’in serta orang-orang sesudah mereka.
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mengatakan bahwa makmum sama sekali tidak wajib melakukan bacaan, baik dalam salat sirriyyah maupun dalam salat jahriyyah (salat yang pelan bacaannya dan salat yang keras bacaannya), karena berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:
Barang siapa yang mempunyai imam, maka bacaan yang dilakukan oleh imam merupakan bacaannya pula.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya melalui Jabir secara marfu’.
Di dalam kitab Muwatta’ Imam Malik hadis ini diriwayatkan melalui Wahb ibnu Kaisan, dari Jabir secara mauquf, dan apa yang disebutkan di dalam kitab Muwatta’ ini lebih sahih.
Masalah ini diketengahkan dengan penjabaran yang lebih rinci pada bagian lain dari kitab ini.
Imam Abu Abdullah Al-Bukhari telah menulis suatu tulisan tersendiri yang membahas masalah ini secara rinci, tetapi pada akhirnya ia memilih pendapat yang mewajibkan membaca bagi makmum dalam salat jahriyyah maupun salat sirriyyah.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan makna firman-Nya:
Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang.
Yakni dalam salat fardu.
Hal yang sama diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mugaffal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Mas’adah, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mufaddal, telah menceritakan kepada kami Al-Jariri, dari Talhah ibnu Ubaidillah ibnu Kuraiz yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Ubaid ibnu Umair dan Ata ibnu Abu Rabah sedang berbincang-bincang, sedangkan di dekat keduanya ada seseorang sedang membaca Alquran.
Maka ia berkata,
“Mengapa kamu berdua tidak mendengarkan Alquran yang akibatnya kamu berdua akan terkena ancaman?”
Tetapi keduanya hanya memandang ke arahku, kemudian melanjutkan obrolan lagi.
Lalu ia mengulangi tegurannya, tetapi mereka hanya memandang ke arahku, lalu melanjutkan obrolan mereka.
Ketika ia mengulangi teguran untuk ketiga kalinya, maka keduanya memandang ke arahku, lalu mengatakan bahwa sesungguhnya hal yang disebutkan oleh ayat berikut hanyalah jika dalam salat, yaitu firman-Nya:
Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Abu Hasyim Ismail ibnu Kasir, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya:
Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang.
Yakni di dalam salat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh sejumlah orang, dari Mujahid.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari As-Sauri, dari Al-Lais, dari Mujahid yang mengatakan bahwa tidak apa-apa berbicara bila seseorang membaca Alqurannya di luar salat.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa’id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Ibrahim An-Nakha*i, Qatadah, Asy-Sya’bi, As-Saddi, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa yang dimaksud dengan perintah mendengarkan bacaan Alquran adalah dalam salat.
Syu’bah telah meriwayatkan dari Mansur yang pernah mendengar Ibrahim ibnu Abu Hamzah bercerita bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang
Yakni dalam salat dan khotbah Jumat.
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Ata.
Hasyim telah mengatakan dari Ar-Rabi’ ibnu Sabih, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa hal tersebut bila berada di dalam salat dan di saat sedang berzikir.
Ibnul Mubarak telah mengatakan dari Baqiyyah yang pernah mendengar Sabit ibnu Ajlan mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa’id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perbaikanlah dengan tenang.
Bahwa kewajiban mendengarkan ini ialah dalam salat Hari Raya Kurban, Hari Raya Fitri, hari Jumat, dan salat-salat yang imam mengeraskan bacaan Alquran padanya.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa yang dimaksud dengan hal tersebut ialah mendengarkan bacaan Alquran dalam salat dan khotbah, seperti yang disebutkan oleh banyak hadis yang memerintahkan mendengarkan bacaan Alquran dengan tenang di belakang imam dan di saat sedang khotbah.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari As-Sauri, dari Lais, dari Mujahid, bahwa ia menganggap makruh bila imam sedang membaca ayat khauf atau ayat rahmat, lalu ada seseorang di belakang imam mengucapkan sesuatu.
Mujahid mengatakan bahwa semuanya harus tetap diam.
Mubarak ibnu Fudalah telah meriwayatkan dari Al-Hasan,
“Apabila engkau duduk mendengarkan Alquran, maka perhatikanlah bacaannya dengan tenang.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Maisarah, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda:
Barang siapa mendengarkan suatu ayat dari Kitabullah, maka dicatatkan baginya kebaikan yang berlipat ganda.
Dan barang siapa yang membacanya, maka ia mendapat nur (cahaya) di hari kiamat.
Hadis diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan lain-lain, yang bersumber dari Abu Hurairah bahwa turunnya ayat ini (al-A’raaf: 204) berkenaan dengan orang-orang yang membaca al-Qur’an dengan nyaring di waktu shalat bermakmum pada Nabi.
Ayat ini memerintahkan untuk selalu mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abu Hurairah.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari ‘Abdullah bin Mughaffal.
Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Mas’ud.
Bahwa ayat ini (al-A’raaf: 204) turun berkenaan dengan orang-orang yang bercakap-cakap di waktu shalat.
Ayat ini melarang berbicara ketika dibacakan al-Qur’an.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari az-Zuhri bahwa ayat ini (al-A’raaf: 204) turun berkenaan dengan seorang pemuda Anshar yang mengikuti bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dibacakan Rasulullah, sebelum beliau selesai membacanya.
Ayat ini melarang mengganggu orang yang sedang membaca al-Qur’an.
Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur di dalam Sunan-nya, dari Abu Ma’mar yang bersumber dari Muhammad bin Ka’b bahwa ketika para shahabat mendengar ayat al-Qur’an dari Rasulullah ﷺ, merekapun mengulanginya sebelum Rasulullah selesai membacanya.
Maka turunlah ayat ini (al-A’raaf: 204) yang memerintahkan untuk mendengar dan memperhatikan bacaan al-Qur’an.
Menurut as-Suyuti, melihat riwayat-riwayat di atas, ayat ini (al-A’raaf: 204) adalah Madaniyyah.
Sumber : Asbabun Nuzul-K.H.Q.Shaleh – H.A.A Dahlan dkk.
|
|
---|
Dari sudut bahasa, qur’aan adalah mashdar dari kata kerja qara’a yang berarti al maqru’ (yang dibaca), menurut bahasa Arab al maqru’ qur’anan dinamakan al maf’ul. Apabila ia dihubungkan dengan syara’ maka qur’aan menjadi Kalamullah.
Al Qur’an juga adalah ism ‘alm (nama yang diketahui) bagi kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, sebagaimana lafaz Taurat.
Ia adalah ism ‘alm bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa dan juga Injil adalah ism ‘alm bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Ibn Manzur dan Abi Hayyan.
Al Fayruz berkata,
“Dinamakan Al Qur’an karena ia menghimpun surah-surah dan menggabungkannya.
Ada juga yang mengatakan ia dinamakan Al Qur’an karena terhimpun di dalamnya kisah-kisah, perintah, larangan, janji, ancaman, atau karena ia penghimpun kitab terdahulu yang diturunkan oleh Allah, atau ia menghimpun di dalamnya seluruh ilmu-ilmu.”
Lafaz qur’aan disebut 70 kali di dalam Al Qur’an, yaitu dalam surah:
Al Baqarah (2), ayat 185;
An Nisaa’ (4), ayat 82;
Al Maa’idah (5), ayat 101;
Al An’aam (6), ayat 19;
Al A’raaf (7), ayat 204;
At Taubah (9), ayat 111;
Yunus (10), ayat 15, 37, 61;
Yusuf (12), ayat 2, 3;
Ar Ra’d (13), ayat 31;
Al Hijr (15), ayat 1, 87, 91;
An Nahl (16), ayat 98;
Al Israa’ (17), ayat 9, 41, 45, 46, 60, 78, 78, 82, 88, 89, 106;
Al Kahfi (18), ayat 54;
Tha Ha (20), ayat 2, 113, 114;
Al Furqaan (25), ayat 30, 32;
An Naml (27), ayat 1, 6, 76, 92;
Al Qashash (28), ayat 85;
Ar Rum (30), ayat 58;
Saba’ (34), ayat 31;
Yaa Siin (36), ayat 2, 69;
Shad (38), ayat 1;
Az Zumar (39), ayat 27, 28;
Fushshilat (41), ayat 3, 26, 44;
Asy Syuura (42), ayat 7;
Az Zukhruf (43), ayat 3, 31;
Al Ahqaf (46), ayat 29;
Muhammad (47), ayat 24;
Qaf (50), ayat 1, 45;
Al Qamar (54), ayat 22, 32, 40;
Ar Rahmaan (55), ayat 2;
Al Waaqi’ah (56), ayat 77;
Al Hasyr (59), ayat 21;
Al Jinn (72), ayat 1;
Al Muzzammil (73), ayat 4, 20;
Al Qiyaamah (75), ayat 17, 18;
Al Insaan (76), ayat 23;
Al Insyiqaaq (84), ayat 21;
Al Buruuj (85), ayat 21.
Menurut Istilah, Al Qur’an ialah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad, melalui wahyu secara berangsur-angsur dalam bentuk ayat maupun surah selama 23 tahun kerasulan Nya.
Ia bermula dari Al Fatihah dan diakhiri dengan An Naas, dinukilkan secara tersusun (tawatur mutlaq) sebagai mukjizat dan bukti kebenaran risalah Islam serta mendapat pahala membacanya.
Wahyu Al Qur’an mula diturunkan pada tahun 610. Nabi Muhammad menerimanya ketika sedang bersendirian di gua Hira, pada pertengahan Jabal Nur (gunung cahaya) dalam bulan Ramadan.
Pada suatu malam, pada akhir bulan itu, malaikat Jibril datang kepadanya menyampaikan wahyu pertama, yaitu awal surah Al Alaq (91), ayat 1-5.
Penurunan Al Qur’an terbahagi kepada tiga tahap:
1. Al Qur’an turun ke lauhul mahfuz.
Buktinya Allah menyatakan yang bermakna, “Bahkan dialah Al Qur’an yang mulia, berada di lauh mahfuz”.
(Al Buruuj (85), ayat 21).
2. Al Qur’an turun ke baytul ‘izzah di sama’ ad dunyaa.
Allah menyatakan yang bermakna, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang penuh berkah.”
Begitu juga dengan makna ayat Allah menyatakan, “Bulan Ramadan yang diturunkan di dalamnya Al Qur’an”.”
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Quran) pada malam Al qadr (laylatul qadr)”
Diriwayatkan oleh Al Hakim dengan perawinya dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, beliau berkata,
“Al Qur’an mencakup zikir dan peringatan.
Maka ia diletakkan di baytul ‘izzah dari As samsa’ad dunya, lalu Jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad”
Dilaporkan oleh Al Hakim dan Al Bayhaqi dan selain keduanya dari perawinya Mansur dari Sa’id bin Jubayr dari Ibn Abbas katanya, “Al Qur’an diturunkan sekaligus ke samaa’ ad dunya, dan dia berada di tempat bintang-bintang, lalu Allah menurunkan (dengan perantara Jibril) kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur”
3. Al Qur’an diturunkan dengan perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, sebagaimana ayat Allah yang bermakna, “Dia turun bersama dengan Ar Ruh Al am in (fibril), ke dalam hatimu (wahai Muhammad), supaya engkau memberi peringatan.”
Pembukuan Al Qur’an terjadi pada zaman Khalifah Abu Bakar atas pandangan Umar, disebabkan peperangan Al Yamamah pada tahun 12 H dan peperangan demi memerangi orang murtad yang dipimpin oleh Musaylamah Al Kadzdzab, yaitu peperangan Hamiyah Al Watis yang banyak mengorbankan para hafiz dan qurra’ dari kalangan sahabat pada tahun 633 M.
Tugas ini diserahkan kepada Zaid bin Tsabit karena beliau adalah salah seorang penghafal Al Qur’an dan penulis wahyu bagi Rasulullah.
Dalam penulisan ini Abu Bakar dan Umar meletakkan dua syarat ketat dan teliti, yaitu:
(1).
Ditulis apa yang ditulis di depan Rasulullah;
(2).
Ia dihafal di dalam dada para sahabat.
Tidak diterima apa yang ditulis melainkan terdapat dua saksi yang adil ia ditulis di depan Rasulullah.
Di zaman Khalifah Utsman bin Affan, kawasan pemerintahan Islam sudah meluas ke segenap penjuru negeri.
Maka setiap negeri belajar dan membaca qira’at dari sahabat yang tinggal di negeri itu.
Misalnya penduduk Syam menggunakan qira’at Abi bin Ka’ab, penduduk Kufah membaca dengan qira’at Abdullah bin Mas’ud dan sebagainya.
Terdapat perbedaan antara qira’at itu sehingga ianya menimbulkan perselisihan dan perdebatan dalam membaca Al Qur’an, bahkan sampai ke tahap sebahagian mereka mengkafirkan sebahagian yang lain.
Hal ini diketahui oleh Hudzaifah bin Al Yaman ketika pembukaan Armenia dan Azarbeijan, lalu ia mengadukannya kepada Khalifah Uthman, Dengan adanya perselisihan ini, beliau kuatir ia akan meluas.
Kemudian, beliau mengambil inisiatif menulis beberapa mushaf yang dikirimkan ke negeri-negeri dan menyuruh mereka membakar setiap mushaf yang ada serta tidak menggunakan selain mushaf yang dikirim.
Untuk menyempurnakan ide ini, beliau mengadakan kumpulan untuk menyeragamkan teks Al Qur’an itu yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang pernah menjadi juru tulis Nabi, bersama dengan Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al ‘As dan Abd Ar Rahman bin Al Harits bin Hisyam.
Kemudian, Khalifah Utsman mengirimkan utusan kepada Hafsah binti Umar supaya diberikan kepadanya sebuah mushaf yang ada padanya, yaitu mushaf yang menghimpunkan Al Qur’an pada zaman Khalifah Abu Bakar dan menyuruh empat kumpulan penulis menulisnya.
Di dalam penulisan ini, kumpulan penulis yang terdiri dari empat sahabat tidak akan menulis di dalam mushaf kecuali ianya benar-benar Al Qur’an, diketahui ia benar-benar diturunkan pada akhir penurunannya (al ‘ardah al akhirah) dan yakin kebenarannya dari Nabi Muhammad” dengan “fas’aw ilaa dzikrillah”.
Apabila mereka berselisih dalam penulisan itu, mereka kembali kepada bahasa Quraisy karena Al Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka sebagaimana yang dikatakan oleh Utsman dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari.
Setelah itu, beliau mengembalikan mushaf yang dipinjam dari Hafsah tadi dan mengirimkan beberapa mushaf yang ditulis itu ke seluruh negeri dan beliau memerintahkan supaya mushaf lain dibakar.
Pembukuan dan suntingan Al Qur’an adalah berdasarkan resensi rasmi yang terjadi pada tahun 650 M.
Al Qu’ran adalah sumber pertama bagi umat Islam.
Ia adalah rujukan pertama dari sudut hukum, pengajaran, penafsiran dan sebagainya, sumber selanjutnya adalah hadits atau sunnah.
Ia terdiri dari 114 surah, di mana setiap surah itu tersusun dari sejumlah ayat-ayat.
Keseluruhan Al Qur’an terbagi kepada tiga puluh juz.
Setiap juz terbagi menjadi dua hizb (bahagian) dan jenis pembagian ini biasanya disertai dengan tanda di tepi halaman muka surat mushaf Al Qur’an.
Terdapat lafaz qur’aan yang disandarkan kepada lafaz ”fajr” yaitu dalam surah Al Israa’ (17), ayat 78.
Ibn Katsir menafsirkan lafaz qur’aanal fajr dengan shalat subuh.
Diriwayatkan Sa’id bin Al Musayyab dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda, “Kelebihan orang yang shalat berjemaah dari orang yang shalat sendirian adalah 25 derajat dan malaikat berkumpul semasa shalat fajar pada waktu malam dan siang.”
At Tabari menafsirkannya, “Sesungguhnya apa yang engkau baca di dalam shalat fajar (shalat subuh) dari Al Qur’an akan menjadi saksi dan disaksikan oleh malaikat pada waktu malam dan siang, sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah, Abu Darda, Abu Ubaidah bin Abdullah.”
Ibn Abbas, Mujahid, Ad Dahhak, Ibn Zaid berpendapat qur’aanal fajr bermakna shalat subuh.
Dinamakan “Al-A’raaf” karena perkataan Al A’raaf terdapat dalam ayat 46 yang mengemukakan tentang keadaan orang-orang yang berada di atas Al-A’raaf yaitu:
tempat yang tertinggi di batas surga dan neraka.
Mereka itu ialah golongan yang sama banyak kebaikan dan kejahatan mereka.
Keimanan:
▪ Mentauhidkan Allah dalam berdo’a dan beribadat.
▪ Hanya Allah sendiri yang mengatur dan menjaga alam.
▪ Allah menciptakan undang-undang dan hukum-hukum untuk mengatur kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
▪ Allah bersemayam di ‘Arasy.
▪ Bantahan terhadap kepalsuan syirik.
▪ Ketauhidan adalah sesuai dengan fitrah manusia.
▪ Nabi Musa berbicara dengan Allah.
▪ Tentang melihat Allah.
▪ Perintah beribadat sambil merendahkan diri kepada Allah.
▪ Allah mempunyai al asma’ul husna.
Hukum:
▪ Larangan mengikuti perbuatan dan adat istiadat yang buruk.
▪ Kewajiban mengikuti Allah dan rasul.
▪ Perintah berhias waktu akan shalat.
▪ Bantahan terhadap orang yang mengharamkan perhiasan yang dianugerahkan Allah.
▪ Perintah memakan makanan yang halal lagi baik dan larangan memakan yang sebaliknya.
Kisah:
▪ Kisah Nabi Adam `alaihis salam dengan iblis.
▪ Kisah Nabi Nuh `alaihis salam dan kaumnya.
▪ Kisah Nabi Shaleh `alaihis salam dengan kaumnya.
▪ Kisah Nabi Syu’aib `alaihis salam dengan kaumnya.
▪ Kisah Nabi Musa `alaihis salam dengan Fir’aun.
Lain-lain:
▪ Alquran diturunkan kepada Nabi yang penghabisan dan perintah mengikutinya.
▪ Nabi Muhammad ﷺ diutus untuk seluruh manusia.
▪ Adab orang mukmin.
▪ Adab mendengar pembacaan Alquran dan berzikir.
▪ Rasul bertanggung jawab menyampaikan seruan Allah.
▪ Balasan terhadap orang-orang yang mengikuti dan mengingkari rasul.
▪ Dakwah rasul-rasul yang pertama sekali ialah mentauhidkan Allah.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206
Audio

Ayat 1 sampai 206 + Terjemahan
Statistik QS. 7:204
-
Rating RisalahMuslim
Ayat ini terdapat dalam surah Al A'raaf.
Surah Al-A’raf (bahasa Arab:الأعراف, al-A’rāf, “Tempat Tertinggi”) adalah surah ke-7 dalam Alquran.
Surah ini terdiri atas 206 ayat dan termasuk pada golongan surah Makkiyah.
Surah ini diturunkan sebelum turunnya surah Al-An’am dan termasuk golongan surah Assab ‘uththiwaal (tujuh surat yang panjang).
Dinamakan Al-A’raf karena perkataan Al-A’raf terdapat dalam ayat 46 yang mengemukakan tentang keadaan orang-orang yang berada di atas Al-A’raf yaitu: tempat yang tertinggi di batas surga dan neraka.
Nomor Surah | 7 |
---|---|
Nama Surah | Al A’raaf |
Arab | الأعراف |
Arti | Tempat yang tertinggi |
Nama lain | – |
Tempat Turun | Mekkah |
Urutan Wahyu | 39 |
Juz | Juz 8 (ayat 1-87), juz 9 (ayat 88-206) |
Jumlah ruku’ | 0 |
Jumlah ayat | 206 |
Jumlah kata | 3346 |
Jumlah huruf | 14437 |
Surah sebelumnya | Surah Al-An’am |
Surah selanjutnya | Surah Al-Anfal |
User Review
4.7 (27 votes)URL singkat: risalahmuslim.id/7-204
Pembahasan:
Quran 7:204, 7 204, 7-204, Al A'raaf 204, tafsir surat AlAraaf 204, Al Araf 204, Al-A'raf 204
Video
Al-A'raf ayat 204
Sebelumnya
Selanjutnya












Panggil Video Lainnya
Podcast
- 🔉 Apakah Dilarang Sedekah Jika Utang Belum Lunas? – KonsultasiSyariah
- 🔉 Hukum Adzan Sebelum Menguburkan Jenazah – KonsultasiSyariah
- 🔉 Kitab Tauhid (Eps. 63): Azab Bagi Para Perupa Makhluk (Penggambar atau Pelukis Makhluk Bernyawa) ― Ust. M. Abduh Tuasikal
- 🔉 Apakah Dilarang Kajian di Masjid Sebelum Jumatan? – KonsultasiSyariah
- 🔉 Kitab Tauhid (Eps. 51): Kufur Nikmat ― Ust. M. Abduh Tuasikal
- 🔉 Kitab Tauhid (Eps. 29): Melawan Sihir dengan Sihir ― Ust. M. Abduh Tuasikal
- 🔉 Apakah Ketika Hujan Lebat Boleh Tidak Salat Jama’ah? – KonsultasiSyariah
- 🔉 Adakah Shalat Sunah Qabliyah Maghrib? – KonsultasiSyariah
- 🔉 Perbanyak Sedekah di Bulan Ramadan, jangan takut miskin karenanya – Ust. Khalid Basalamah
- 🔉 Bolehkah Menabung Emas di Pegadaian – KonsultasiSyariah