Menurut pandangan orang awam (yang pendapatnya kurang tepat), menyebut musafir itu lebih didasarkan pada jarak.
Jadi apabila seseorang melakukan perjalanan jarak dekat (dalam kota) dia tidak masuk kategori musafir.
Sedangkan yang melakukan jarak jauh (luar kota) masuk kategori musafir. Ternyata pengertian itu kurang tepat.
Yang benar adalah:
Ukuran musafir tergantung pada ‘urf .
‘Urf adalah adat atau kebiasaan yang dikenal masyarakat.
Misalnya, bila ‘urf atau kebiasaan masyarakat di suatu tempat (sebut saja kota Semarang) menganggap bahwa orang yang melakukan perjalanan dari Semarang ke Jakarta adalah Musafir, maka saat itu dia tidak wajib berpuasa.
Contoh yang lain adalah apabila ‘urf (kebiasaan) orang Semarang menganggap perjalanan seseorang dari Semarang ke Solo atau Yogyakarta dianggap perjalanan jauh (safar), maka orang tersebut dianggap Musafir.
Jadi tidak dibatasi oleh jarak.
Ketentuan tersebut juga ditegaskan oleg ahli qiraat, Syekh Muhammad Musa Alu Nashr,
“Orang yang membatasi jarak minimal dengan 80 km, tidak memiliki dalil yang tegas.
Sehingga, permasalahan ini harus dikembalikan ke standar ‘urf.
Bisa saja, misalnya, seseorang berjalan dengan mengendarai mobil selama satu jam, tetapi (ia) tidak dianggap sebagai musafir sebab hanya berputar-putar di dalam kota.
Kemudian, ada orang lain yang berjalan satu jam keluar dari kotanya dengan mobil, selama satu jam atau satu setengah jam.
Jika masyarakat menganggapnya sedang bersafar maka ia (disebut) musafir, begitu pula sebaliknya.”
Referensi: tagar.id